Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pasca Debat Capres Jilid II, dari Soal Validitas Data hingga Elektabilitas

22 Februari 2019   10:39 Diperbarui: 22 Februari 2019   11:10 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak anggapan debat capres putaran kedua yang dihelat beberapa hari lalu kurang menarik. Dari soal ekplorasi tema; Pangan. Energi, Infrastruktur dan SDA hingga gairah debat itu sendiri. Jika Rocky Gerung, mengharapkan "Debat Capres" itu seperti tinju, penonton berharap agar ada kubu yang KO (Knockout) atau fight ending terkapar di atas ring. Dengan demikian, publik bisa menilai siapa yang benar-benar punya kapasitas sebagai kepala negara.

Bila dibandingkan dengan debat jilid I, debat putaran kedua lebih menantang dan menghibur. Seperti biasanya, sebagai petahana Jokowi menguraikan visi-misi, dibalut dengan pengalaman lapangan serta uraian data pencapaian selama pemerinahannya. Sebaliknya, Prabowo menyampaikan kerangka besar; berkiblat pada teori sosioal-ekonomi klasik tentang kemandirian bangsa (karakter pemikirannya).

Satu hal yang dapat menjadi pelajaran publik dari debat jilid II bahwa debat itu sekaligus menjadi ukuran siapa kubu selama ini penyebar data hoax atau menyajikan data tidak valid. Ini penting, karena anggapan publik bahwa dua kubu terus saling menuduh. Misalnya, dari Kasus Ratna Sarumpaet, kubu Prabowo disebut penyebar hoaks. Sebaliknya, BPN menyebut Jokowi sering berbohong dan ingkar janji.

Hasilnya, debat tersebut menghilangkan stereotape buruk pada masing-masing kubu dan membuktikan mana data yang dapat dipertanggung jawabkan. Satu pesan penting, saya menilai Debat ini merupakan proses pendidikan politik yang makin baik di masyarakat kita. Melalui pendidikan politik, masyarakat lebih selektif, rasional menentukan pemimpin, bukan atas dasar mitos atau bahkan berbau mistis. 

Saya menemukan dilapangan, tipe masyarakat yang menentukan pilihan berdasarkan hal "ghaib" misalnya, saya bertanya; Kenapa anda memilih Presiden A? Jawabannya diluar perkiraan.  Dengan wajah lugu menjawab: Saya memilih Presiden A itu mendengar guru saya kalau Presiden itu keturunan Walisongo. Jawaban lucu sekaligus menggelitik bukan. Faktanya, tidak ada satupun dari Capres atau Cawapres keturunan Walisongo.

Pilihan irasional itu tidak saja terjadi pada masyarakat lokal, ini juga menjangkit tipe masyarakat "perkotaan". Tetapi dengan tipe lebih sensasional tentunya. Misalnya, Anda dengan mudah menemukan melalui via Youtube "Dukun Artis" yang mencoba menerka siapakah yang akan memenangkan pemilu 2019 mendatang. 

Tak tanggung-tanggung, jumlah viewer tersebut telah mencapai ratusan ribu beberapa hari setelah diposting. Apa jadinya, jika misalnya, dukun itu mengklaim yang akan menang adalah Paslon A atau Paslon B? ini adalah ancaman demokrasi.

Saat ini kita membutuhkan pendidikan politik. Pendidikan politik dimaksudkan untuk menghapus respon irasional, atau bahkan klaim otoritas di mana selama ini menjadi corak dari demokrasi kita, demokrasi bukan tentang yang merasa paling agamis dan suci tetapi siapa yang paling berkontribusi dalam membangun negeri. Misalnya,  terdapat dua kendidat kepala daerah. 

Kandidiat pertama dari kalangan agamis tapi sedikitpun tidak memahami bagaimana menjalankan roda pemerintah, isi kepalanya hanya pengajian. Sementara kandidat kedua, memahami urusan pemerintah; memiliki visi-misi untuk memajukan daerah dalam semua lini. Saya yakin, anda akan memilih kandidat kedua. 

Pendidikan politik itu adalah instrumen penting, ia adalah alat pemandu akal dan hati kita untuk memilih mana calon pemimpin ideal itu karena pemimpin bukan untuk satu golongan, pemimpin itu adalah yang mampu merangkul semua kalangan dan semua pihak bahkan lintas agama. Pemimpin itu adalah payung bagi semua varian, corak dan tipe masyarakat karena kita hidup dalam demokrafi masyarakat paling berwarna (pluralitas).

Pendidikan politik itu adalah satu-satunya cara untuk mengehentikan politik uang (money politic). Karena output dari pendidikan ini adalah internalisasi dalam bentuk keyakinan yang melahirkan idealisme, akal pikiran serta perilaku yang memperjuangkan cita-cita bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun