Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden yang "Kaget" Melulu

16 Februari 2019   09:20 Diperbarui: 16 Februari 2019   12:12 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: liputan6.com

Bila kita amati secara seksama, Presiden Jokowi dengan segala kesempurnaan; kerja nyata jargon popularnya. Belum lagi, keberhasilan pembangunan infrastruktur meskipun "keberhasilan" itu masih mengundang tanya.

Apakah infrastruktur; jalan tol dan pelabuhan laut, dikendalikan negara atau malah dijual ke pihak swasta? Bila dipegang negara, maka itu merupakan keberhasilan pembangunan, sebaliknya, jika pemerintah melepaskan aset ke pihak swasta, tak pelak infrastruktur itu tak ubahnya sapi perah hanya menguntungkan pihak lain.

Bila kita menimbang lebih jauh, negara juga belum merasakan dampak ekonomi dari pembangunan infrastruktur selama ini. Katanya, pemerintah mengklaim kondisi makro ekonomi semakin stabil. Tetap saja, rupiah kita makin terpuruk di tengah tekanan global. Pemerintah sebagai pengendali negara tak ingin dianggap gagal, jelas dirinya akan menggunakan segala perangkat pengendali (media) memutar balikkan fakta dan menggiring opini publik.

Kembali ke pijakan awal, presiden yang dikenal sederhana dan gayanya yang "millenial" potret sana-sini hingga pada tingkat paling privat; shalat pun tak lepas dari sorotan kamera. Tak pelak, Presiden itu kini menjadi duta model, hingga urusan paling privat; masalah shalat tak luput dari hingar bingar.

Di samping itu, selain kekinian, acap kali presiden muncul di publik dengan sikap bukan negarawan atau bahkan saya sebut tidak paham persoalan kecil sekalipun (dalam hal tertentu). Entah ini ironis atau tidak, tapi sejauh ini tidak ada reaksi publik berlebihan atas sikap (presiden itu). apakah karena, sekarang ini kita adalah masyarakat "tak peduli" atau menganggap sikap itu tidak penting. Atau tidak mungkin presiden tahu semua persoalan, maka tugas menteri dan aparatur negara-lah yang punya tanggung jawab.

Sikap presiden yang menunjukkan ia tidak paham persoalan-persoalan kecil misalnya ketika baru-baru ini presiden berpidato saat menerima Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan menerima laporan masih ada guru yang dibayar Rp. 300 ribu per-bulan. Jokowi pun dalam pidatonya, kaget dan akan segera mencari solusinya. Tidak hanya itu, kembali lagi presiden kaget, ketika mengetahui harga Avtur dan kaget dengan mahalnya harga tiket.

Saya tidak tahu, pilihan diksi "kaget" berimplikasi apa dalam komunikasi pak Jokowi. Bila saya baca pikiran publik, sikap kaget presiden memiliki implikasi tiga hal. Pertama, reaksi "kaget" Jokowi adalah trend masa kini. Pandangan ini mungkin menurut anda terkesan lucu, tapi selama publik menganggap itu wajar maka dalam waktu dekat "kaget" akan menjadi trendy kaula muda dan tua.

Kedua, reaksi ini secara eksplisit merefleksikan bahwa Presiden tidak paham betul masalah-masalah sesederhana itu. Anda bisa bayangkan, sejak Jokowi menjadi pemangku jabatan; walikota, gubernur hingga presiden apakah anda tidak paham bahwa gaji guru itu masih terbilang rendah. "kemana saja anda pak? Jika anda hari ini kaget  dengan gaji guru yang sangat rendah. Sekali lagi, sikap reaksioner seperti ini tidak perlu terulang kembali. Justru, jargon "kerja nyata" itu menjadi paradoks bagi saya sebab bagaimana mungkin seorang presiden yang memahami lapangan; turun dan bertemu langsung dengan warga, hingga turun ke persawahan tetapi anda baru "kaget" dengan gaji guru.

Ketiga, reaksi "kaget" Pak Jokowi adalah stimulus agar guru tidak reaksionar dan tidak melakukan demonstrasi di depan istana sehingga dengan sigap dalam pidatonya berjanji akan menyiapkan sebuah skema agar nasib guru akan ia perjuangkan dan segera terealisasikan.

Dalam benak, seandainya pak Jokowi, paham betul masalah sesederhana itu; tidak hanya kaget melulu, tentu pembangunan infrastruktur yang belum dirasakan langsung masyarakat akan dialihkan dan diprioritaskan untuk mensejahterakan masyarakat. Itu baru realistis dan sangat realistis. "Guru adalah pahlawan dan pondasi negara" sekarang anda punya misi besar, menjadikan negara Indonesia menjadi negara maritim dunia, anda membangun infrastruktur tapi nasib guru tidak diperhatikan sama saja anda membangun jembatan tapi dibangun dengan pondasi lemah. Visi itu hanya sebagai fiktif ujungnya. Infrastruktur dan guru adalah dua hal yang berkelindan, infrastruktur untuk memajukan ekonomi dan guru untuk mencerdaskan bangsa.

Bangsa maju adalah bangsa dengan ekonomi kuat dan pendidikan mumpuni. Sekarang, bagaimana negara maju itu akan terwujud jika pendidikan (guru) masih digaji rendah. Pikirkan itu pak. Jika anda mengkaim diri anda terlahir dan untuk rakyat, terlahir dari bawah mewakili harapan, maka anda harus menyuarakan dan memperjuangkan apa yang harus diprioritaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun