Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Terbunuhnya Nalar dan Prinsip Politik Kita

29 September 2018   23:41 Diperbarui: 29 September 2018   23:51 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Urusan memilih pemimpin adalah urusan pribadi yang tak dapat diganggu gugat. Ia tumbuh dari kesadaran batiniah manusia-menciptakan standar bahwa pilihannya adalah sosok terbaik yang diharapkan mampu mengemban tugas negara. Maka, "pilihan" mewakili keragaman berpikir sekaligus refleksi dari sebuah kebijaksanaan. Sudah sepantasnya, kita saling menghargai atas pilihan masing-masing bukan saling menghujat sebab menghujat sama dengan mencederai dan menyalahi kesadaran batin manusia yang suci.

Namun, manusia kadang keluar dari fitrah manusianya-untuk saling menghormati dan mengayomi, menjelma menjadi predator yang memaksa kehendak pilihan pribadi sehingga acap kali menimbulkan potensi konflik horizontal-perpecahan dan klaim tunggal merasa diri paling benar. Kita sedang menghadapi potensi perpecahan disebabkan oleh perbedaan pilihan yang seyogyanya dipandang sebagai realitas sosial bukan anomali atau kegilaan yang harus dibasmi atau disingkirkan.

Potensi perpecahan ini mencuat ketika haluan ulama dan umara' terbelah menjadi dua kubu yaitu kubu yang mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Jika Ma'ruf Amin adalah kiyai tulen-potensial mengambil suara Nahdlatul Ulama,  Sandiaga Uno adalah santri pos-islamis yang didukung penuh oleh Ijma' Ulama. Tidak salah bila saya menyebut arena politik saat ini meruncing pada realitas politik identitas yaitu dominasi agama atau kelompok tertentu dalam perebutan kekuasaan. Iklim politik seperti ini tentu saja kurang kondusif karena hanya melahirkan fanatisme semata.

Fanatisme dalam agama adalah sebuah keharusan, tapi jangan sekali-kali fanatisme dibawa pada pilihan politik. Salah satu tujuan demokrasi adalah menghapus sikap fanatisme karena demokrasi merupakan proses sublimasi kekuasaan yang terus bergerak dinamis.

Saatnya Rakyat Cerdas   

Yang saya maksud di sini adalah cerdas dalam politik. Rakyat tidak lagi mudah tergerus atau diobral oleh segelintir elit, tidak mudah dibohongi oleh janji-janji dan tidak pula menanggalkan pilihan nurani demi sesuap nasi. Kita selalu mengutuk pelaku korupsi tapi kita lupa bahwa yang telah memilih mereka juga adalah rakyat. Maka, yang harus berbenah adalah rakyat itu sendiri, sudah saatnya rakyat dibekali seperangkat pemahaman politik-kultural. Maksudnya politik yang mencerminkan cita-cita  bangsa sebagaimana tertuang dalam  Pancasila.

Jargon politik-kultural kita adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Konsepsi yang mewakili keragaman etnik, budaya dan keyakinan agama. Jadi, politik identitas dan dominasi tak pantas mendapat ruang sebab menjadi penyebab dari disintegrasi bangsa. Bukan hanya soal itu, politik bukan soal kaya semakin kaya atau miskin semakin melarat, tapi politik-kultural adalah politik tanpa kelas, tidak ada dikotomi antara kaya-miskin, ulama bukan ulama atau  bahkan antar penganut agama sekalipun.  

Pemahaman politik-kultural menjadikan  kita menjadi diri yang adil dan beradab. Adil dan beradab dalam arti penerapan hukum yang tidak membeda-bedakan, adil cerminan dari idealisme yang tidak mudah goyah dan mampu mengambil keputusan, bukan boneka yang dikendalikan oleh atasan-elit partai dan intervensi asing. Nilai-nilai ini pada akhirnya akan menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat, jelas ini seharusnya politik di Indonesia berjalan.

Sayangnya, prinsip politik ini telah memudar atau bahkan hilang digantikan oleh politik dominasi konglomerat segalanya serba diukur dan dikendalikan oleh materialisme. Argumentasi ini kemudian mengkerucut pada satu pertanyaan dasar, apakah dalam politik itu ada harapan? atau sebaliknya politik itu sebatas kepentingan- jabatan dan obral janji?

Saya tegaskan kembali, manusia itu bukan binatang politik yang haus dengan kekuasaan-memperkaya diri. Saya yakin, kita tidak termasuk makhluk sebagaimana pandangan Niccolo Machiavelli yaitu manusia tanpa nurani, tanpa nalar dan idealisme rela menggunakan segala cara demi kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan itu merupakan aktualisasi diri, yaitu tahap manusia dalam pandangan Abraham Maslow sebagai sosok sempurna yang memberi manfaat bagi manusia.

Politik itu adalah jalan dan cara untuk memperjuangkan aspirasi rakyat kecil yang hidup susah dan tertindas. Anda bisa bayangkan misalnya, kakek tua renta, tubuh kurus hanya berbalut tulang dan wajahnya yang keriput terkikis zaman berharap agar para pemangku negeri ini memenuhi harapannya. Namun apa daya, harapan itu pupus dan terkubur di atas nafsu birahi materil. Sungguh manusia seperti ini tak layak untuk hidup, karena asas kehidupan adalah memberi manfaat terhadap sesama.

*Sebuah Renungan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun