Lagi asyik membaca Kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid Telu terbitan Taman Poestaka Jogjakarta, 1925 (cetakan pertama Kiai Badawi,1967) yang ditulis dengan uruf Arab pegon, basa Jawi.Â
Menarik, karena sebagaimana termaktub dalam buku jadoel itu, fikihnya Kiai Ahmad Dahlan, sang pencerah yang mendirikan Muhammadiyah ternyata sama dengan Kiai Hasyim Asy'ari, salah satu ikon pendiri Nahdlatul Ulama: tarawih 20 rakaat di luar witir, baca ushalli, qunut subuh, dan seterusnya.
Belakangan Muhammadiyah bergeser kiblat fikihnya. "Fatwa" Kiai Dahlan yg satu guru, satu ilmu dan satu nasab dengan Kiai Hasyim dikoreksi. Keduanya sama-sama murid, bahkan sekamar, saat mondok di Kiai Muhammad Saleh bin Umar As Shamarani alias Mbah Sholeh Darat di Semarang.
Satu halaqah kala mengaji di Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, mufti jenius, imam dan pengajar non Arab pertama di Masjidil Haram, Mekah, yang lahir di Koto Tuo, di barat Kenagarian Koto Gadang, di kaki Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Mereka berdua bahkan sama-sama keturunan Sunan Giri yang kalau ditarik dari atas sampai ke Fatimah binti Muhammad SAW.
Perubahan arah ubudiyah Muhammadiyah ini terjadi setelah Kiai Mas Mansur mendirikan Majelis Tarjih pada 1927. Semua keputusan majelis inilah yang sampai kini dijadikan pegangan para pengikut Muhammadiyah dalam menjalankan amal ibadahnya--ada sarjana yang menyebutnya sebagai mazhab Tarjih.
Kiai Mas Mansyur, saat memimpin, mengemban peran ganda yang tak mudah: membentengi arus pengaruh hegemoni Wahabi, mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi yang anti tradisi, sekaligus juga mencari ekuilibrium antara puritanisme-modernisme versus tradisionalisme-konservatifisme dengan cara merevisi sejumlah keputusan Kiai Dahlan demi kemaslahatan umat agar tak terbebani tradisi yang memberatkan. Â
Ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap non mazhab (semula Kiai Dahlan dan Kiai Mas Mansyur serta Kiai Hasyim pengikut mazhab Syafi'ie seperti juga dianut guru-guru mereka, termasuk Syaikh Khatib) dengan slogan anti takhayul, bid'ah dan churafat atawa TBC ini menguat sejak ada pengaruh Haji Rasul (ayahanda Buya Hamka) di Sumatera Barat. Sebab itulah ada pameo: Muhammadiyah lahir di Yogya tapi "ideologi" dan ruh gerakannya menggumpal di Sumbar.
Sikap puritan yang hendak memurnikan ajaran tanpa bermazhab ini dikukuhkan di Muktamar Pekalongan 1972. Sikap ini berbeda dengan NU, yang berideologi ahl sunnah wal jama'ah, berfikih mazhab arba'ah (empat), khususnya Imam Syafi'ie; sedangkan sisi kalam atau teologinya bersandar pada Imam Al Asy'ary.
Mengapa bergeser? "Karena Muhammadiyah bukanlah Dahlaniyah," ujar salah seorang Ketua PP Muhammadiyah Prof.Yunahar Ilyas. Maknanya, mencegah terjadinya kultus individu walau tertuju pada pendiri organisasi.
Perkara pengkultusan ini, hemat saya, juga tak hendak dihidupkan oleh kaum nahdliyin kendati mereka sangat hormat kepada para kiai sepuh dan guru2 mereka. Sistem tata nilai yang kerap disebut tawadu' ini dijaga betul di pesantren yang secara khusus mengajarkannya melalui kitab Ta'lim Muta'allim.