Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Solidaritas di Tengah Wabah

23 Maret 2020   16:25 Diperbarui: 23 Maret 2020   22:24 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
blog.carsontahoe.com

Merebaknya virus corona mengubah interaksi manusia. Semula orang tidak takut berada dalam kerumunan. Kini, kerumunan berarti ancaman terhadap kehidupan kita. 

Di Wuhan, corona virus cepat merebak ketika orang berkerumun merayakan Imlek. Di negara-negara lain, hal serupa yang mengundang orang berkerumun menjadi media paling gampang penularan virus corona.

Di Itali dan Prancis, militer harus turun untuk memastikan cafe-cafe ditutup dan tempat-tempat berumpul lainnya tidak difungsikan. Presiden Prancis, Macron, berpendapat bahwa keterlibatan militer dilakukan karena masyarakat telah mengabaikan anjuran pemerintah. 

Cafe-cafe tetap dibuka dan kerumunan manusia tidak bisa dihindari. Artinya, interaksi dengan orang lain harus dibatasi, bahkan secara total harus dibatasi. Maka, muncul kebijakan lockdown. Hal yang lebih fleksibel adalah anjuran social distancing.

Ikuti Aturan

Di Indonesia, pemerintah juga meminta masyarakat untuk membatasi interaksinya dengan orang lain. Tinggal di rumah itu menjadi kunci untuk memutus rantai penularan yang kian massif saat ini. Masyarakat diminta untuk melakukan social distancing, sebuah upaya untuk menjaga jarak ketika berinteraksi dengan orang lain.

Virus menyebar tanpa pandang bulu. Dalam beberap hari, penyebaran virus di Indonesia berkali lipat peningkatannya. Pemerintah telah meminta masyarakat bekerja dari rumah, menutup sekolah, menyelenggarakan ibadah di rumah. Ini menjadi gotong-royong seluruh masyarakat untuk menghambat penularan virus. 

Jika cara ini tidak diperhatikan masyarakat, dampak penanganan ke depan menjadi tidak terkendali karena ketidaksiapan infrastuktur dan penanganan yang massif sementara sumberdaya tidak mencukupi.

Kita bisa belajar dari Itali. Secara infrastruktur, penanganganan rumah sakit di Itali cukup mendukung.  Tantangan yang dihadapi Itali adalah jumlah penduduk yang harus ditangani oleh rumah sakit yang tak terkendali dari hari ke hari. Rumah sakit dan tenaga medis kewalahan melayani pasien secara optimal. 

Anjuran pemerintah untuk mengisolasi diri tidak digubris oleh banyak masyarakat. Mereka tetap keluar dan berinteraksi dengan orang lain. Bahkan, mereka membuat sebuah gerakan perlawanan dengan "Milano non si ferma" (Milan Tidak Takut). Seolah virus hilang dengan sendirinya saat orang menyatakan tidak takut.

Di beberapa kalangan, sikap perlawanan dilakukan dengan kemasan agamis "Jangan takut korona, takut pada Allah". Sikap seperti itu akan membuat kita pasrah karena merasa virus akan hilang sendiri atau kekuatan lain mengatasinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun