Mohon tunggu...
Wahyudi Adiprasetyo
Wahyudi Adiprasetyo Mohon Tunggu... Perefleksi Suara Nurani

Saya pemulung kata yang merefleksikan suara nurani untuk mengisi pojok ruang literasi publik.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Tan Joe Hok, Teladan Legenda Bulu Tangkis

2 Juni 2025   14:02 Diperbarui: 3 Juni 2025   10:46 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Legenda bulu tangkis Indonesia Tan Joe Hok pada 2008. | KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Tan Joe Hok: Pahlawan di Lapangan, Warga yang Terlupakan

Catatan mengenang kehidupan Pahlawan dan Legenda Bulutangmis Indonesia.

Selama bertahun-tahun saya mengamati denyut bulu tangkis Indonesia, satu nama selalu memancarkan sinar abadi dalam catatan sejarah olahraga bangsa: Tan Joe Hok. Nama ini tidak sekadar legenda. Ia adalah pionir. Ia adalah simbol. Namun ironisnya, ia juga potret miris bagaimana bangsa kita kadang terlalu cepat melupakan para pejuangnya di luar medan perang---di lapangan olahraga.

Pahlawan dari Lapangan

Tan Joe Hok lahir pada 11 Agustus 1937 di Bandung. Dalam dekapan masa-masa sulit pascakemerdekaan, ia tumbuh dengan semangat pantang menyerah. Bulu tangkis bukan sekadar olahraga baginya---itu jalan hidup. Di usia yang relatif muda, ia mengukir sejarah dengan menjadi juara All England 1959, menjadikannya orang Indonesia pertama yang memenangkan kejuaraan bulu tangkis tertua dan paling bergengsi di dunia.

Tak hanya itu, pada 1958 dan 1961, Tan Joe Hok menjadi bagian kunci dari Tim Indonesia yang memenangkan Piala Thomas, kejuaraan dunia beregu putra. Prestasinya menjulang. Dunia mengakui. Bendera Merah Putih berkibar karena pukulan-pukulan tajam dan gerak kaki yang lincah dari pria berdarah Tionghoa ini.

Di Antara Sorak dan Sunyi

Namun, ketika ia turun dari podium dan menggantung raketnya, hidup Tan Joe Hok berubah. Bukan menjadi duta besar kehormatan. Bukan menjadi pelatih dengan fasilitas terbaik. Tapi menjadi sosok yang nyaris dilupakan negaranya sendiri. Meskipun jasanya luar biasa, ia tetap harus menghadapi diskriminasi yang senyap namun menyakitkan.

Sebagai warga keturunan Tionghoa, ia sering merasakan betapa status "WNI" tidak selalu setara di mata birokrasi dan masyarakat. Di masa Orde Baru, ketika isu SARA begitu sensitif, Tan Joe Hok dan banyak tokoh keturunan lain harus berjalan lebih hati-hati. Meski telah mengharumkan nama bangsa, ia tetap menghadapi stereotip, kecurigaan, bahkan kesulitan administratif hanya karena darah leluhurnya.

Sungguh ironis, negara yang ia banggakan tidak selalu membanggakan dirinya.

Keteladanan yang Tak Tergoyahkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun