Mohon tunggu...
Wah Yudi
Wah Yudi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Warga Indonesia yang saat ini tinggal diJakarta dan bekerja di Industri Periklanan.\r\n\r\nFans AC Milan era the dream team, tapi juga penggemar permainan cantik nan indah ala Tiki Taka dan Total Football. Jadi suka bingung, mules bin pening jika AC Milan ketemu Barca seperti 4x di LC 2012 atau Belanda vs Spanyol di PD 2010 :D Tapi klub Nottingham Forest yang paling saya suka, cinta lingkungan gitu kesannya Hahaha :D

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sudah Puas Dengan Bradodin Haiti?

19 Februari 2015   13:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:54 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Bangunan itu terlihat paling besar dibanding sekitarnya. Terletak di Jalan M. Kahfi I, Jagakarsa, Jakarta Selatan, satu rumah utama, tiga rumah tambahan, plus satu bangunan untuk petugas keamanan berdiri di tanah seluas 3.000 meter persegi. Di halaman rumah terpajang ukiran berbentuk aksara "B" setinggi dua meter. Air kolam renang yang cukup luas di halaman belakang berkilau memantulkan sinar matahari. Para tetangga menyebut bangunan itu sebagai "rumah Pak Kapolda". Inilah rumah Komisaris Jenderal Badrodin Haiti (BH), yang pernah menjadi Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara” begitulah tulis sebuah media massa menggambarkan kemegahan rumah sang cakapolri tunggal pengganti Budi Gunawan (BG) yang diajukan oleh presiden sebagai penyelesaian menghadapi polemik soal kapolri yang sudah berlangsung sebulan terakhir.

Entahlah, konglomerat macam apa sang Komjen BH sehingga mampu mempunyai rumah semewah, seluas dan semegah itu yang bagi orang kebanyakan mempunyai rumah type 60/100 didaerah itu saja sudah dianggap kaya dan mewah karena nilainya pasti sudah bukan ratusan juta lagi tapi milyaran rupiah didaerah tersebut, apalagi sampai 3000 meter persegi? Itumah sudah punya komplek Townhouse sendiri. Tapi pada kenyataannya sang jendral polisi mampu mempunyai rumah yang mungkin mirip istana sebesar itu, padahal kita tahu berapa sih gaji dan tunjangan alias take home pay resmi seorang polisi berpangkat jenderal sekalipun dinegeri ini.

Namun jika ditelusuri bersama dari pemberitaan media yang sama yang membahas 6 jenderal polisi yang diisukan dan patut diduga mempunyai rekening gendut tak wajar yang diantaranya adalah Komjen BG, sang cakapolri tunggal terdahulu yang menyebabkan polemik berkepanjangan serta menimbulkan perang terbuka Polri – KPK alias konflik Cicak vs Buaya dan Komjen BH, sang cakapolri tunggal berikutnya sekaligus pengganti BG maka pemberitaan diatas seakan menjadi titik temu, pantas saja mempunyai rumah dan istana semegah itu.

Namun anehnya, sikap sebagian rakyat terhadap BG dan BH sepertinya sangat jauh berbeda. Jika terhadap BG kompak menolak bahkan sejak hari pertama pencalonannya apalagi setelah ditersangkakan oleh KPK namun pada BH banyak yang menarik nafas lega dan memuji langkah presiden menunjuk BH yang sebenarnya juga diterpa isu yang sama alias 11-12 dengan BG masalahnya. Lantas apakah penyebab perbedaan perlakuan dan sikap rakyat terhadap BG dan BH? Apakah karena BG mantan ajudan Megawati sementara BH bukan?

Jika kemudian penolakan ini terkait stempel merah dan status tersangka KPK maka agak aneh juga mengingat resistensi pada BG ini sudah muncul lama sejak heboh kasus pemberitaan para jendral polisi yang diduga memiliki rekening gendut dan transaksi keuangan yang tak wajar ditahun 2010, jauh sebelum BG diajukan namanya keKPK yang konon untuk didaftarkan menjadi calon menteri untuk mendapat “Stempel” penilain KPK diakhir 2014. Kalau karena status tersangka korupsi KPK, yang sebenarnya juga telah digugurkan oleh pra peradilan maka pertanyaannya adakah komisioner KPK yang tersisa dan plt lainnya berani die hard mentersangkakan BH setelah dua komisionar lainnya AS dan BW terpaksa mundur dengan status tersangka criminal?

Revolusi, bukan kompromi

Perbedaan perlakuan sebagian rakyat pada BG dan BH ini selain cukup aneh sekaligus menggambarkan rasa kelelahan dan kepasrahan rakyat mengikuti polemik kapolri serta perang terbuka Polri – KPK sehingga seolah – olah berkembang idiom tak resmi “Asal bukan Budi” sebagai cakapolri tanpa mau menilisik lebih jauh lagi track record siapa pengganti yang diajukan oleh presiden selanjutnya. Ibarat bayi yang menangis kencang, sontak terdiam senang begitu disodori empeng yang bisa jadi tak higienis dan tak peduli efek buruk empeng tersebut nantinya, yang penting dapat empeng.

Padahal kita tahu atau setidaknya bisa mencari tahu, negara yang berhasil dalam upaya pemberantasan korupsi selalu diawali dengan revolusi kepolisian sebagai epicentrum penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi selain lembaga layaknya KPK. Seperti yang terjadi di Hongkong, Meksiko, Peru misal, Presiden Peru Ollanta Humala langsung membuat hantaman besar di lembaga kepolisian. Dia memecat 30 dari 45 jenderal polisi, termasuk Kepala Kepolisian Raul Bacerra. Bacerra digantikan Jenderal Raul Salazar. Berdua saling membahu memberhentikan sepihak mereka mencuri uang negara satu sol atau lebih. Sol merujuk pada mata uang Peru, walaupun khusus Meksiko dan Peru belum bisa seberhasil Hongkong karena masih langkah awal.

Bahkan jika mau berkaca pada yang berhasil seperti Hongkong misal, revolusi kepolisian ini mutlak dilakukan dengan dukungan pemimpin tertinggi Hongkong. Namanya revolusi kepolisian tentu jarang yang berjalan damai dan mulus, pun demikian diHongkong. Puncak dari ketegangan revolusi kepolisian Hongkong waktu itu adalah diserbunya markas ICAC – KPKnya Hongkong oleh kepolisian Hongkong serta pemecatan terhadap sebagian besar polisi dan Jaksa Hongkong sebagai langkah awal reformasi kepolisian. Rasanya didunia ini belum ada sejarah Negara yang bisa terbebas dari korupsi dengan hanya melakukan kompromi terhadap kepolisiannya.

Kebenaran atau Pembenaran?

Yang menyedihkan, banyak pihak saat ini sepertinya yang terjebak pada permakluman sikap kompromi yang diambil presiden dalam memutuskan polemik kapolri ini padahal dulu dimasa kampanye presiden berjagon “Revolusi mental” dan berstatement akan memperkuat KPK sekaligus upaya pemberantasan korupsi. Pada akhirnya banyak yang terjebak pada pola pikir “Asal bukan Budi”, gembira ketika BG batal dilantik dan masa bodoh dengan track record BH sebagai penggantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun