Mohon tunggu...
Wahyudi Wibowo
Wahyudi Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Sed Vitae Discimus

Staf Pengajar pada Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Money

Dilema Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja

20 April 2020   16:32 Diperbarui: 20 April 2020   19:20 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Indonesia berada di antara negara-negara dengan hambatan tertinggi bagi investasi asing langsung (FDI), sebagaimana laporan FDI Regulatory Restrictiveness Index 2018 yang dirilis OECD. Berdasarkan fakta ini RUU Cipta Kerja yang diajukan pemerintah memiliki pertimbangan kuat. RUU tersebut dimaksudkan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja baru melalui peningkatan investasi, baik domestik maupun asing. Di tengah situasi pandemi COVID-19, pemerintah dan DPR bersepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU ini.

RUU Cipta Kerja sendiri berisi usulan untuk mengubah 73 undang-undang yang sebagian besar berhubungan dengan penyederhanaan regulasi investasi dan ketenagakerjaan. Namun RUU ini mendapat protes dari serikat pekerja karena ditengara mengurangi hak-hak normatif yang berlaku seperti upah minimum dan pesangon PHK. Persoalan lain yang dianggap merugikan adalah perluasan definisi alih daya (outsourcing) serta perubahan dalam hubungan dan jam kerja. RUU ini ditentang karena menerapkan fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Persoalan fleksibilitas pasar tenaga kerja (labor market flexibility) memang menjadi perdebatan diantara pembuat kebijakan, perusahaan, dan serikat pekerja. Hal ini merupakan gejala di hampir semua negara, yang terjadi seiring perubahan-perubahan dalam jaringan produksi global, liberalisasi perdagangan, serta restrukturisasi ekonomi. Pasar tenaga kerja yang fleksibel disukai perusahaan-perusahaan besar dan perusahaan multinasional, karena diyakini meningkatkan daya saing dalam lingkungan bisnis yang kian dinamis.

Perusahaan-perusahaan kini cenderung menerapkan hubungan kerja fleksibel yang memungkinkan pengurangan, pengalihtugasan, ataupun penempatan ulang tenaga kerja dengan mudah. Ini untuk menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan perubahan seperti situasi pasar, kompetisi, inovasi teknologi, ataupun krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 seperti saat ini. Hubungan kerja fleksibel juga lebih mudah diterapkan pada sektor ekonomi kreatif maupun ekonomi digital.

Fleksibilitas pasar tenaga kerja sering dianggap sebagai jawaban bagi  persoalan kekakuan pasar tenaga kerja (labor market rigidity). Karena itu, negara seperti Indonesia yang berada di peringkat ke-73 dalam Ease of Doing Business 2020 dipandang perlu menerapkannya. Di pihak lain, pandangan ini ditentang kalangan pekerja karena dinilai tidak adil dan tidak berpihak pada kesejahteraan pekerja.

Fleksibilitas pasar tenaga kerja menimbulkan dilema karena cenderung menerapkan status hubungan kerja, struktur upah, dan sistem kompensasi yang kurang memberi penghargaan pada masa kerja (Stone, 2015; Eyck, 2003). Konsekuensinya dalam jangka panjang meningkatkan kerentanan sosial dan ekonomi, terutama bila tanpa dukungan sistem jaminan sosial yang memadai.

Persoalan menjadi lebih dilematis ketika pola hubungan kerja menjadi berorientasi jangka pendek, sehingga mengabaikan investasi pada pengembangan keterampilan tenaga kerja. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat laju pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di masa depan.

Produktivitas tenaga kerja dan FDI

Terkait produktivitas tenaga kerja, studi International Finance Corporation di tahun 2019 menunjukkan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia. Produktivitas tenaga kerja kita pada sektor industri padat karya berada di bawah India, Vietnam, Brasil, Tiongkok, dan Malaysia. Demikian pula pada sektor industri padat modal, kita tertinggal dari Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Sementara itu laporan Asian Development Bank di tahun 2016 mengungkap bahwa separuh tenaga kerja Indonesia tergolong tidak memenuhi persyaratan kerja.

Faktor produktivitas tenaga kerja sendiri merupakan salah satu daya tarik utama investasi. Perusahaan multinasional cenderung berinvestasi di negara-negara dengan produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Hal ini terkonfirmasi dalam peningkatan aliran FDI pada sektor-sektor manufaktur berteknologi menengah dan tinggi dalam dasawarsa terakhir (UNCTAD, 2014).

Apakah RUU Cipta Kerja menawarkan daya tarik bagi masuknya FDI? Jawabannya tergantung pada tipe FDI yang dikehendaki. FDI di sektor primer atau ekstraktif (resources-seeking) umumnya tertarik dengan kombinasi kemudahan regulasi investasi dan ketenagakerjaan. Demikian pula bagi FDI di sektor industri padat karya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun