Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Accaru-caru, Ritual Leluhur yang Masih Dipraktikkan Nelayan di Galesong

24 Maret 2018   15:19 Diperbarui: 24 Maret 2018   20:37 2806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual accaru-caru di Galesong Takalar. Foto: Wahyu Chandra

Nelayan juga pantang menyebutkan secara langsung hewan darat. Misalnya kata tedong (kerbau), kongkong (anjing), bawi (babi), jarang (kuda), ularak (ular), darek (monyet), jangang (ayam), dan sejumlah hewan lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa yang tak boleh disebutkan namanya adalah hewan darat berkaki empat.

Jika pun harus disebutkan maka diucapkan dengan nama atau kata lain. Tedong (kerbau) diganti dengan tambalak (besar badan), kongkong (anjing) diganti dengan tarang gigi (tajam gigi), bawi (babi) diganti dengan buleng (putih), jarang (kuda) diganti dengan tetterek (cepat), ularak (ular) diganti dengan balluk/malakbu (panjang), darek (monyet) diganti dengan turikayu (penghuni pohon) dan jangang (ayam) diganti dengan turilerang (penghuni kadang ayam).

Nelayan juga pamali mengucapkan kata pasala yang berarti melepaskan, atau tassala atau terlepas. Kata ini dianggap bertentangan dengan harapan mereka untuk mendapatkan ikan sebanyak mungkin. Kalaupun harus diucapkan, misalnya kalau ada bagian perahu yang terlepas, maka pengucapannya harus diganti dengan kata aklampa atau pergi, yang dianggap lebih halus dibanding kata tassala.

Tidak hanya pengucapan kata tertentu, perilaku pun harus dijaga ketika sedang melaut. Antara lain pamali untuk buang air besar (tattai) dan kencing (takmea) di bagian pintu perahu yang disebut sabanngang atau timungang karena dianggap sebagai bagian masuknya ikan yang tak boleh dikotori.

Nelayan juga tak boleh akboko atau membelakangi sabangang pada saat menurunkan alat tangkap. Tindakan ini dianggap sama artinya dengan membelakangi rezeki. Tindakan ini juga berisiko mudah terpeleset jatuh ke laut.

Ada pula pantangan yang disebut appikiru atau meludah di dekat sabangang. Diyakini bahwa meludah di dekat pintu sebagai tindakan yang bisa menimbulkan rasa tersinggung bagi tamu-tamu yang akan datang, yaitu ikan-ikan yang akan mereka tangkap, yang mereka beri nama Daeng Bau atau Daeng Rani. Pantangan ini berlaku pada saat pemasangan alat ataupun di saat penangkapan ikan.

Para nelayan juga tak boleh bertelanjang kepala ketika sedang melaut, harus menggunakan songkok atau tutup kepala dari kain. Ini semacam penghargaan kepada Daeng Bau atau Daeng Rani, ikan-ikan itu.

Bagi keluarga yang ditinggal di rumah ketika sedang melaut ada juga hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Misalnya anak-anak atau seisi rumah lainnya tak boleh menangis (Angngaruk) di saat mereka akan berangkat melaut. Ini dianggap tindakan yang menunjukkan kesusahan. Padahal diyakini bahwa sebuah pekerjaan harus dimulai dengan rasa bahagia atau penuh kegembiraan.

Keluarga di rumah juga dilarang tidur telungkup (tinro moppang/mappang). Dimaknai bahwa dengan tidur terbalik bisa berdampak pada hasil tangkapan yang akan terbalik dari harapan mereka mendapatkan ikan yang banyak.

Mengenal Sejarah Galesong

Galesong memiliki arti yang luas bagi entitas suku Makassar. Dalam sejarah diceritakan bagaimana Karaeng Galesong enggan berkompromi dengan Belanda memilih menyingkir ke Jawa, Bersama dengan raja di Jawa melanjutkan perjuangan melawan imperialisme Belanda yang baru saja menganeksasi Kerajaan Gowa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun