Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Kebenaran dari Parminides dan Herakleitos

5 Desember 2021   05:46 Diperbarui: 5 Desember 2021   05:50 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kebenaran ditunjukkan ketika fenomena fenomena selalu cenderung terhadap noumena. Apalagi itu akan intervensi kedalam noumena kebenaran tersebut.

Manusia bisa menciptakan konstruksi berpikir dengan berbagai macam varian. Terkadang manusia menciptakan sebuah argumentasi dimana kondisi kondisinya itu menguntungkan dan kepentingannya terhadap argumentasi itu untuk apa. Kehadiran objek sebagai kepentingan kepentingan suatu subjek adalah salah satu indikasi Bagaimana manusia menciptakan makna terhadap sesuatu hal sebagai argumentasi yang kemudian itu di klarifikasi sebagai kebenaran. Padahal kebenaran seperti itu bersifat relatif dan bisa saja terjadinya kesalahan-kesalahan disebabkan kondisinya itu dikonfirmasi oleh dirinya sendiri sebagai kebenaran mutlak.

Eksistensi tentang segala hal memang menarik ketika ditarik dari berbagai perspektif, apalagi itu demi sebuah kebenaran yang selalu menimbulkan sebuah kontradiksi maupun paradoks paradoks ketika dihadapkan dengan kondisi realitas. Munculnya kebenaran inilah yang membuat manusia menjadi haus akan kebijaksanaan yang naif adanya. Padahal kebenaran adalah bagaimana baik dan tempatnya sesuatu ditempatkan dan tidak mereduksi hal-hal yang berkaitan dengannya. Kontribusi kebenaran sebagai hal esensial akan melahirkan kebijaksanaan untuk mencapainya. Kebijaksanaan lahir ketika manusia melakukan hal-hal yang benar dengan tidak mengharapkan hal lain melainkan ia mencintai kebijaksanaan tersebut demi tercapainya masyarakat harmonisasi. Kebijaksanaan tanpa pengakuan itu penting dan tidak perlu nya pengakuan-pengakuan. kebijaksanaan tidak perlu diakui oleh khalayak sebagai bentuk otoritas dan legitimasi demi kebanggaan diri sendiri sehingga tercapainya kepuasan dalam hasrat diri manusia yang dimana Manusia adalah makhluk yang sangat suka dikagumi dan diikuti.

Banyak sekali tokoh-tokoh yang memikirkan Bagaimana eksistensi kebenaran itu ada. Terkadang itu yang membuat manusia menjadi Salah kaprah dan salah interpretasi terhadap apa yang dikatakan orang-orang terdahulu nya. Ini memang tidak bisa dinafikan secara argumentasi logis. Karena sejarah telah melukiskan berbagai cara ataupun berbagai varian kebenaran-kebenaran yang terbentuk dikarenakan miskonsepsi interpretasi. Tokoh-tokoh klasik selalu membentuk sebuah eksistensi kebijaksanaan dengan varian dimana murid-muridnya bisa saja menjustifikasi kesalahannya dengan komprehensif dan holistik. Namun setiap manusia akan sulit menunjukkan kesalahannya di muka publik, hal itu dikarenakan memang hakikatnya nya manusia adalah ketidakpuasannya terhadap tujuan yang diinginkan apalagi itu berkaitan dengan kebenaran yang selalu dikagumi oleh manusia sendiri. Tidak akan bisa dipungkiri bahwa itu memang selalu melekat pada diri manusia hingga saat ini. Dari zaman dahulu saja, manusia mencari tahu tentang kebenaran kebenaran itu berdasarkan insting layaknya seperti hewan-hewan lainnya. Sehingga itu terus berkembang secara perlahan-lahan dengan peradaban yang mendukung, bagaimana manusia itu melakukan kan sesuatu hal dan dibantu oleh instrumental utama yaitu akal atau fikiran sebagai salah satu alat penting manusia untuk mencapai kebijaksanaan sehingga tujuan dari kebenaran itu terwujud.

Dua tokoh seperti parmenides dan herakleitos adalah tokoh yang memperjuangkan kebenaran dengan berbagai jenis dan memiliki perbedaan perbedaan signifikansi. Tokoh-tokoh tersebut lahir di Yunani era sekitar abad ke-5 sebelum Masehi. Tokoh tersebut tergolong tokoh-tokoh yang masih memperjuangkan Bagaimana fokus mereka terhadap cosmos yang biasa disebut dengan kosmosentris. Kebenaran yang diperlukan oleh 2 tokoh tersebut memang dikategorikan sebagai kebenaran kebenaran alam yang memang masih mengutamakan mitos di dalamnya. Tapi setidaknya mitos tersebut berhasil di filterisasi sehingga tidak diterima secara totalitas. Parmenides dengan pemikiran tetapnya yang terhadap eksistensi cosmos dan manusia. Dan begitupun sebaliknya heraklitos pemikir yang berubah-ubah terhadap Bagaimana pemikirannya tentang cosmos dan manusia. Dua hal ini memperjuangkan kebenaran kebenaran terhadap kepentingan nya sendiri yang di mana mereka mengambil interpretasi dari tokoh-tokoh sebelumnya.

Parminides adalah nabi statis. Yang dimana dia melegitimasi bahwa eksistensi dari segala hal itu tetap dan tidak mungkin kita mengikutsertakan sesuatu yang ada menjadi tidak ada, dan tidak ada menjadi ada. karena esensial dari ada hanyalah ada dan mungkin tidak ada yang menjadi ada. Dan begitupun sebaliknya tidak ada adalah esensialnya tidak ada dan tidak mungkin menjadi ada. Semuanya adalah tetap karena kita lah yang berubah.  Jikapun itu terjadinya perubahan terhadap diri kita yang ada, maka itu bukan perubahan sama sekali, melainkan kita menemukan diri ada karena serah hakikatnya nya memang keberadaan kita adalah ada dan kita belum mengetahui Kita ada karena ketetapan statis bahwa diri kita memang ada. Sangat mustahil sesuatu itu berubah karena sesuatu itu bersifat tetap namun pengetahuan manusia lah yang belum mampu mencapainya. Namun sesuatu terhadap di luar diri kita adalah ketetapan dan tidak mungkin terjadinya perubahan sama sekali. Sama halnya kita mengatakan sesuatu itu ada karena memang itu adalah ada dan tidak mampu untuk kita mengatakan terhadap intervensi sesuatu itu tidak ada. Adalah ada ada sebagai ada ada dan tidak mungkin tidak ada. Dan tidak ada adalah tidak ada dan tidak mungkin menjadi ada apalagi mustahil untuk menjadi di kedua-duanya.  Kebenaran yang dikatakan parminides tendensi kepada bagaimana aspek aspek faktor ketetapan yang mutlak terhadap objek. Setiap kebenaran akan timbul ketika sesuatu itu akan keluar dengan sendirinya terhadap rangsangan dari luar untuk membuktikan keberadaan nya. Reduksi yang terjadi terhadap kebenaran pun akan muncul dikarenakan ada sebuah pendekatan hubungan antara ketetapan yang statis dengan effek kebenaran dalam realitas yang beremansipasi terhadap dirinya yang imanen.
Realitas yang terjadi adalah bagaimana kebenaran-kebenaran tersebut muncul dalam aplikasi kehidupan yang memang sudah diatur sebelumnya. Segala hal yang muncul adalah bagaimana reaksi terhadap di luar dirinya yang memberikan ada sebagai ada dan tidak akan tereduksi menjadi tidak ada yang memang bukan bagian dari dirinya. Pastinya kebenaran itu adalah kebenaran itu sendiri dan tidak perlu pengakuan kebenaran terhadap orang lain akan benarnya. Esensinya bahwa setiap kebenaran itu memang terlahir untuk benar dan tidak mungkin menjadi tidak benar. Dikarenakan manusia Memang secara kodrati menurut parmenides adalah tetap dan tidak akan mengalami perubahan. Maka bisa disimpulkan mengenai kebenaran itu bersifat tetap dan dimiliki oleh setiap orang tanpa harus intervensi kepada orang lain dan pengakuan dari orang lain untuk mengakui kebenaran itu. Adanya kebenaran memang selalu di manipulatif, namun akan tetap menjadi benar dan tidak akan pernah ikut campur menjadi tidak benar walaupun terjadinya perubahan secara totalitas. Tidak akan ada efek-efek yang timbul dari reduksi makna ada dalam kebenaran itu sendiri. Parmenides ingin menciptakan sebuah kebenaran yang memang sejatinya adalah miliknya sendiri dan tidak bisa diganggu gugat oleh orang lain. Sehingga hal inilah yang membuat pemikiran parmenides mengenai kebenaran memang cenderung objektif yang memandang segala hal nya dari ketetapan yang sudah ada. Sehingga ada yang menyebutnya dogma ataupun lain-lainnya.

Dan sebaliknya herakleitos adalah nabi dinamis. Yang memikirkan segala hal tidak tetap dan selalu mengalami perubahan segalanya. Kita tidak bisa melewati satu sungai yang sama dan melewati kedua kalinya dengan jejak kaki yang sama. Pastinya sungai itu adalah sungai yang berbeda yang kita lewati dari sungai yang pertama tadi. Begitulah analogi pemikiran dari heraklitos. Tidak ada sesuatu yang bersifat tetap dikarenakan kita selalu menemukan sesuatu terhadap relatif dan berubah-ubah setiap waktu sesuai dengan peradaban. Jikapun itu adalah bagian dari penetapan objektif. Maka suatu saat nanti pasti akan dipersalahkan dan diperkembangkan sehingga itu bagian dari dinamis. Perkembangan inilah yang membuat manusia selalu mencari tahu dan tidak puas akan sesuatu yang dicari itu sendiri. Herakleitos mengintegrasikan bahwa manusia hidup untuk mencari kebenaran yang berubah-ubah, selalu menemukan kebenaran yang mungkin disepakati, tapi suatu saat nanti terjadinya perubahan dikarenakan kondisi dan konteks dari kebenaran itu tidak relevansi lagi. Karena kebenaran tidak mungkin bersifat mutlak yang dimana manusia tidak menggugatnya, maka heraklitos memberikan interpretasi bahwa ketika kebenaran itu bersifat mutlak pastinya itu bukan kebenaran. Melainkan sesuatu hal yang di mana katakan dinamakan kebenaran yang ditetapkan itu adalah kebenaran yang bersifat objektif tapi sesuai zamannya. Namun suatu saat nanti kebenaran itu akan berubah-ubah dikarenakan kondisi hal-hal yang berubah-ubah pula

Kebenaran dari heraklitos adalah bagaimana setiap individu individu ekspresikan nya dan mengaplikasikannya dengan benar dan baik. Kebenaran yang diaplikasikan secara komprehensif dan holistik berdasarkan fakta lapangan sehingga bisa dikatakan kebenaran tersebut bisa terjadinya perubahan dan itulah yang menjadi kondisi kondisi Dimana keberadaan itu dibuktikan. Ketika kebenaran itu ditunjukkan, maka muncullah setiap interpretasi interpretasi yang di mana interpretasi tersebut berdasarkan setiap individu yang mampu untuk memberikan kebenaran, sehingga kebenaran tersebut berubah-ubah tergantung bagaimana hal itu digunakan. Kebenaran berdasarkan heraklitus memang dikategorikan sebagai kebenaran pragmatis yang memandang guna sebagai salah satu indikasi kebenaran tersebut bersifat pasti. Namun itu bukan dikatakan sebagai kebenaran absolut, karena sejatinya kebenaran absolut adalah bagaimana hukum alam bekerja dan konsekuensi konsekuensi yang terjadi ketika manusia melakukan hal-hal yang di mana pastinya terjadinya dualitas, baik buruk, jiwa badan, dan lain-lainnya.

Dari dua hal ini maka jika dikorelasikan dengan eksistensi Tuhan maka akan menemukan sebuah konklusi berupa tidak mungkin manusia mengetahui Tuhan itu ada sekaligus tidak ada. Karena ini melanggar dua sistematisasi pemikiran manusia yang dinamis dan statis. Kita mengatakan Tuhan itu ada karena kita menginderanya dengan ruang waktu, sehingga itu menjadi sifat ketetapan manusia sebagai makhluk hidup. Dan begitu sebaliknya ketika kita mengatakan Tuhan itu tidak ada karena dia tidak ada dalam ruang waktu pikiran kita. Sehingga pikiran kita memprogramkan berupa ketidakadaan itu sebagai ada. Dan Tuhan yang kita justifikasi sebagai tidak ada adalah sebenarnya ada dalam pikiran kita dalam bentuk ruang dan waktu. Namun kita mengekspresikannya dengan konfirmasi tidak ada secara lisan maupun tulisan kepada khalayak.

Ini ada pemikiran zaman klasik yang mungkin mempengaruhi para pemikir-pemikir sesudahnya seperti Plato maupun tokoh-tokoh modern seperti ini di Rene Descartes, Immanuel kant dll. Ataupun tokoh-tokoh postmodern yang membahas tentang Tuhan dalam linguistik. Seperti Martin heidegger, Ludwig weindgeistein, jeacque derrida, Ferdinand de sessau yang selalu menciptakan konstruksi bahasa dengan korelasi tanda-tanda kehadiran dan jejak sebagai konfirmasi terhadap eksistensi statis dan dinamis dalam penjelasan kognitif. Bahasa memang selalu menjadi bentuk persuasif dari bagaimana klaim-klaim sebuah kebenaran itu diaplikasikan. Apalagi bahasa selalu menunjukkan tanda-tanda yang objektif sekaligus memperhatikan secara komprehensif dan holistik terhadap objek kebenaran. Namun hal yang pasti adalah kebenaran memang tidak pantas untuk ada pengakuan sama sekali. Karena sejatinya pengakuan memang bukan ditentukan oleh basa melainkan bahasa yang mampu untuk menemukan kebenaran kebenaran yaitu secara terstruktural, tersistematis, logis, dan mampu mampu menetapkan peran tupoksi dan meminimalisir reduksi terhadap kebenaran yang memang secara esensial tersebut objek itu adalah benar.

Namun harus diberi klarifikasi, bahwa tokoh-tokoh di zaman klasik Yunani disebut masih bersifat alami yang di mana selalu menentukan kondisi kondisi alam dalam hukum alam itu sendiri untuk mencapai sesuatu hal apalagi mengenai kebijaksanaan. Dalam konteks mencari kebenaran oleh orang-orang Yunani. Kebenaran-kebenaran yang diperjuangkan oleh parmenides dan herakleitos adalah kebenaran bersifat sofisme (kebenaran terhadap setiap individu dan individu itulah yang mengklaim kebenaran tersebut tanpa harus ikut campur kebenaran orang lain dan mereduksi kebenaran-kebenaran sebelum nya). Manusia selalu hadir seperti ini hingga kini tanpa mereka sadari. Sejarah melukiskan tentang bagaimana manusia menemukan kebenaran yang tetap maupun berubah-ubah terhadap eksistensi alam semesta dan manusia sebagai objek kajiannya.

#wahyutrisnoaji

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun