Mohon tunggu...
Wahyu Agustian
Wahyu Agustian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sulit tapi bisa! 10/90

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

5 Perasaan yang Mendasari Perilaku Radikalisme

4 April 2022   23:35 Diperbarui: 4 April 2022   23:55 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagaimana yang kita ketahui, gerakan radikalisme di Indonesia semakin menjadi-jadi. Ada beberapa hal yang mendasari seseorang untuk menjadi radikal, dan salah satunya adalah perspektif atau pandangan dari dirinya terhadap peristiwa yang terjadi. Cukup jelas bahwa paham/ideologi radikalisme bertentangan dengan Pancasila yang menjadi ideologi negara kita.

Gerakan radikalisme di Indonesia diawali pada tahun sekitar 1950 dengan berdirinya Tentara Islam Indonesia dan Negara Islam Indonesia yang mana gerakan ini memiliki visi yang sama yaitu untuk menjadikan syariat islam sebagai dasar negara. Yang kemudian sempat padam kembali ketika para pimpinannya telah ditahan/terbunuh pada awal tahun sekitar 1960 an. Namun semakin kesini pola pola gerakan yang semakin beragam. Terkadang satu organisasi radikal berbeda dengan organisasi radikal lainnya berbeda dalam pola gerakannya.

Tak jarang radikalisme berujung pada gerakan terorisme terutama di Indonesia sendiri. Aksi-aksi terorisme tidak pernah ada habisnya walaupun beberapa tokoh tokoh yang menjadi penggerakna sudah mati atau tertangkap seperti IS, Dr. A, NM, ABB dan lainnya. Akan tetapi hal itu tidak dapat menghetikan gerakan terosisme-terorisme yang lainnya. Lebih berbahaya lagi jika radikalisme telah menyusur ke orang-orang yang tidak/belum diketahui oleh kalangan pihak berwajib. Beberapa kasus diantaranya seperti bom di masjid polresta Cirebon, bom rawamangun, bom tidak meledak di gereja bumi serpong, dan bom di gereja solo. Gerakan gerakan ini sebelumnya tidak terdeteksi oleh polisi ataupun jaringan pidana terorisme yang masih di lapas ataupun yang sudah bebas.

Lalu, bagaimana ideologi radikalisme dapat mengakar ke berbagai kalangan di Indonesia. Dengan buku yang berjudul Terorisme di Indonesia dalam tinjauan psikologi yang ditulis oleh Sarlito Wirawan Sarwono, saya dapat memahami bahwa kekeliruan dalam perspektif bisa memotivasi munculnya paham radikalisme di Indonesia.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Roy J. Eidelson dan Judy I. Eidelson yang berjudul Dangerous Ideas American Psychologist, 2003, vol. 58, no. 3, hal. 182-192 terdapat 5 ide yang berbahaya dapat memunculkan paham radikalisme.

Pertama, merasa superioritas. Sebagaimana kita ketahui bahwa superioritas adalah perasaan bahwa dirinya atau kelompoknya merupakan yang paling unggul dan benar diantara golongan lainnya. Oleh sebab itu ketika ada golongan yang mengusik atau mengganggu eksistensi golongannya bisa saja dihajar habis oleh mereka. Sebagai contoh perlakuan rasisme orang-orang kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam. Orang-orang kulit putih menggap bahwa dirinya lebih baik dan unggul ketimban orang-orang kulit hitam, maka tak jarang perilaku rasisne sering didapatkan oleh orang-orang kulit hitam terumata di benua eropa yang sampai kini masih sering terjadi. Kedua, rasa ketidakadilan. 

Ketidakadilan menjadi salah satu faktor seseorang atau golongan menjadi radikal. Sebagai contoh gerakan OPM yang memberontak sebagai bentuk rasa perlawanan ketidakadilan yang mereka terima terhadap pemerintah. Walaupun sejatinya gerakan OPM dilandasi dari berbagai faktor. Rasa ketidakadilan mungkin hanya sebagai kambing hitam untuk kepentingan kepentingan lainnya. 

Ketiga, kerentanan. Seringkali kerentanan ini menjadi salah satu faktor yang kuat dalam gerakan radikal. Ketidakpuasan akan kenyataan dan kekhawatiran akan masa depan dapat dengan mudah membakar bara api untuk mereka melakukan gerakan radikal. Kerentanan ini tidak akan terlalu berbahaya jika diimbangi dengan edukasi edukasi yang mereka butuhkan, bisa juga dengan program program pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, agar mereka dapat menghindari kegelisahan akan masa depan. 

Keempat, perasaan tidakpercaya. Ketidakpercayaan dalam kelompok ini bisa dengan mudah membangun semangat semangat perlawanan ketika situasi seperti ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan yang berbeda. Biasanya ada orang-orang yang memperkeruh suasana agar berjalannya gerakan radikal. Dan terakhir, kelima. Perasaan tidak berdaya, situasi seperti ini dapat memotivasi kelompok-kelompok yang menurut mereka sedang berjuang dengan gerakannya. 

Perasaan tidak berdaya justru akan membangun jaringan jaringan yang lebih luas dan kuat untuk sebuah gerakan. Sebagai contoh bangsa Indonesia melawan penjajah belanda yang bersenjata lengkap dapat dengan mengganas dan membabi buta dalam gerakannya, karena merasa sama sama tidak berdaya maka bangsa Indonesia saat itu sangat dengan mudah dibersatukan dan menjadi golongan yang kuat untuk melawan penjajah walaupun hanya bersenjata bambu runcing, namun karena persamaan nasib, sama sama merasa tidak berdaya akhirnya mampu menjadi satu kekuatan dan satu gerakan yang kuat untuk mengusir para penjajah.

5 perasaan itu dapat menjadi satu kekuatan atau modal bagi suatu gerakan radikalisme. Oleh karenanya perlu adanya pendampingan terhadap kelompok-kelompok yang mengarah ke radikalisme. Orientasinya mengenai 5 perasaan tadi perlu diluruskan lagi.

Referensi : Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Terorisme Di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi. Jakarta : Alvabet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun