Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Amarah Gerimis

31 Agustus 2021   12:49 Diperbarui: 3 September 2021   22:15 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gerimis ketika malam purnama. (sumber: pixabay.com/Firenzos)

Entah sudah berapa lama ia tak menginjakkan kaki di tempat ini. Sepuluh tahun? Lima belas tahun? Ia mencoba mengingatnya. Tak banyak yang berubah. Atau memang tak berubah karena tempat ini menunggunya?

Kesibukan membuat ia nyaris melupakan. Padahal jika dirunut, tempat ini ibarat sebuah cerita panjang tentang perjalanan hidupnya. Tetapi, itulah. Ia bahkan sengaja mengulur waktu, saat seseorang menelpon untuk sesekali menengok kemari. Alasannya, tak ada waktu. 

Dulu, saat awal merangkak hidup, tempat ini adalah mula pertama, ia bisa menjadi seseorang. Setelah mampu tegak berdiri, ditinggalkan, menempati ruang baru dalam kehidupannya. 

Ada kesedihan, haru biru, jungkir balik, bahkan cerita yang tak akan mampu diungkapkan hanya dalam satu atau dua hari. 

Bagaimana ia dulu hanya mampu makan sehari sekali dengan mengambil besusul dari rawa-rawa sekitar tempat tinggalnya.

Ia pergi, menitipkan rumah kepada kakeknya, setelah sebelumnya dibangun sebuah surau di sebelah kanan rumah untuk menenangkan pikiran kala itu. 

Ada keengganan atau hatinya yang rapuh untuk sekedar berkunjung. Cerita tentang tempat ini begitu membuat hatinya serasa berlompatan. Bila tidak kuat, akan membuatnya sedih berkepanjangan. Padahal, jika saja ia mau, tempat ini akan bisa menghibur hatinya disaat gundah, berkebalikan dengan suasana hatinya saat ini.

Tetapi suatu perjalanan hidup, tak selamanya akan mulus. Kadang terjal menganggu, sehingga jalan itu sedikit terhambat. Berhenti, bahkan stagnan. Kejadian yang membuatnya terpuruk, barulah saat ia mengingat sesuatu. Rumah lama. Tempat yang nyaris ia lupakan. 

"Kapan terakhir kamu mengunjungi tempat ini?"

"Lima belas tahun yang lalu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun