Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Mengasah Sisi Humanis dari Efek Pandemi

1 Juli 2021   21:23 Diperbarui: 4 Juli 2021   01:00 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengasah sisi humanis dari efek pandemi.| Foto: Wahyu Sapta.

Satu bulan terakhir ini saya sedih, karena begitu banyak korban yang ditimbulkan oleh pandemi. Banyak orang yang wafat dan sakit karena terpapar Covid-19.

Bahkan hingga hari ini, ketika saya pergi, banyak sekali berpapasan dengan ambulans. Entah membawa korban sakit atau yang sudah meninggal. Suara ambulans yang meraung-raung, bersuara bagai membelah jalan. Terasa menyayat hati, karena tak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Ada kesedihan di sana.

Saya menyaksikan sendiri, mobil ambulans itu dari tampak depan membawa beberapa orang yang berpakaian APD termasuk sopirnya. Hal ini sedikit menyiutkan nyali saya dan membuat hati terenyuh, karena membayangkan bagaimana kesedihan mereka yang sakit, juga keluarga yang ditinggalkan oleh pasien.

Dalam hati saya terus berdoa, "Ya Allah, sembuhkanlah yang sakit, dan lapangkanlah jalan bagi mereka yang telah wafat karena covid."

Bukan saja dalam kehidupan nyata, di media sosial juga sering memberitakan kabar tentang meninggalnya teman yang terpapar Covid-19. Teman masa kecil, teman sekolah, teman kuliah, beberapa ada yang menjadi korban Covid-19. 

Sedih sekali. Saya merasa bahwa pandemi ini semakin mendekat di sekitar saya. Padahal beberapa waktu lalu sebelum lebaran, saya cukup lega ketika pandemi melandai.

Ada sisi dilematis yang harus dijalani. Antara takut keluar rumah karena begitu banyaknya kasus pandemi, atau bersikap biasa saja karena kebutuhan akan berlangsungnya kehidupan yang harus tetap berjalan, meskipun ada pandemi. 

Lalu apakah dengan begitu saya mengurungkan niat agar tidak keluar rumah dan tidak bekerja? Tentu saja tidak. Karena saya dan suami adalah wiraswasta, alias bekerja tidak ikut siapa-siapa dan bukan pegawai yang rutin tiap bulan bergaji. Jika tidak bekerja, maka kami tidak akan memperoleh penghasilan. Di sinilah ujian yang harus dijalani.

Belum lagi ujian ketika pekerjaan menghadapi masalah. Pembayaran dari pelanggan yang sudah beberapa bulan belum terbayarkan. Ketika ia ditagih, berjanji akan membayar, tetapi hingga sekarang belum juga dibayar. Hingga harus menggunakan mediasi, agar bertemu solusi. Lagi-lagi harus bersabar, karena ternyata pemilik rumah yang sedang kami perbaiki terkena covid. 

Alhamdulillah, Allah masih sayang kepada kami, dengan memberikan pekerjaan lain yang lancar pembayarannya, sehingga masih bisa bertahan. Masih bisa memberikan gaji pada pegawai, juga cukup untuk kelangsungan hidup. Bersyukur juga, karena dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kami, sehingga tidak begitu berat menanggungnya. 

Jika dipikir, belum seberapa kesulitan beban hidup yang ditanggung, jika dibandingkan dengan orang yang ada dibawah kami. Masih banyak yang menggalami kekurangan jika dibandingkan dengan masalah yang sedang dialami. Pandemi ini memang mengasah sisi humanis dari saya dan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun