Ia tidak mengerti, mengapa ini terjadi. Kejadian yang begitu cepat, amat memukulnya. Luna orang yang amat dicintainya, mengapa begitu. Pasti ada sesuatu.Â
Ketika Bagas tersadar, segera mengejar Luna hingga keluar toko. Ia sudah menghilang di tengah hujan deras. Bagas merasa terpuruk, tak terasa air matanya menetes. Ia menangis sejadi-jadinya. Badannya basah oleh hujan.Â
"Ini pasti kisah yang salah. Tuhan, aku mohon pada-Mu, kembalikan Lunaku." katanya sambil sesegukan di sela air hujan yang masih saja deras membasahi tubuhnya.
***
Bagas masih merasakan bara cinta yang begitu besar terhadap Luna. Tetapi waktu tak berbaik hati.Â
"Kalau cinta itu benar ada, mengapa tidak bisa bersatu?" tanyanya dalam hati. Begitu terus menerus yang ditanyakan kepada dirinya sendiri.
"Cintaku ini tak bertepuk sebelah tangan, bukan? Tetapi mengapa tak menemukan jalan untuk menuju ke sana?"
Lalu dipandanginya seraut wajah cantik nan lugu di selembar kertas yang agak lusuh. Baru saja ia keluarkan dari dompet. "Luna, mengapa kau meninggalkan aku? Bukankan cinta yang kita punya adalah cinta sejati?"
Cinta memang tak memberinya sebuah waktu dan ruang, hanya sebuah sinyal yang tak berhenti berkedip. Lamat-lamat tak kentara, meski selalu berkedip. Ada sebuah batas yang menghalanginya, hingga kedipan itu tampak memudar.
"Lalu, rindu ini akan aku kemanakan?" tanya Bagas semakin resah.
Dalam suatu keheningan, ia memegangi ulu hati agar tak semakin perih. Sinyal itu tetap berkedip, dan akan selalu berkedip, meski pelan.Â