Hujan masih saja menderas di luar, membuat Bagas selalu teringat peristiwa lampau. Belum sepenuhnya hilang, karena setiap hujan datang, rasa bersalah terus saja mengganggu. Meskipun tak setebal pada waktu lalu, ketika ia kehilangan Luna.
Bagas memandang Indah yang sedang bercengkerama dengan Putri. Dihelanya nafas, lalu berkata dalam hati, "Semoga kamu sabar, hingga menuju hari bahagiamu."Â
Putri berlarian menuju dirinya dan meminta pangku, saat ia menjaga kasir. Ia tumbuh menjadi gadis mungil yang cantik. Usianya menjelang lima tahun. "Ah, seandainya ibunya masih ada." desah Bagas.
Seorang perempuan masuk ke toko. Mengambil tiga botol air mineral dan menuju kasir. Disodorkan kartu debit untuk membayar air mineral itu, lalu selesai pembayaran. Kartu debit dikembalikan kembali. Tak sengaja mata mereka beradu pandang.
"Luna?"
Sesaat hening. Masing-masing terpaku beberapa saat.
"Luna?" ulang Bagas. Perempuan itu kaget, dan segera berlalu. Langkahnya dipercepat meninggalkan toko kecil itu. Bagas mengejarnya.
"Luna! Tunggu!" teriaknya.
Langkah seorang perempuan yang mirip dengan Luna terhenti sejenak. Menengok ke belakang dan berkata, "Maaf, saya bukan Luna!" katanya.Â
Ia mempercepat kembali langkahnya, keluar toko dan menuju mobil, hingga terlupakan payung yang dibawanya. Hujan di luar masih deras. Bajunya basah.Â
Bagas yakin, perempuan tadi adalah Luna. Ia mengenal betul Luna yang dicintainya. Suaranya, gestur tubuhnya, ia adalah Luna. Meskipun bertahun-tahun berpisah, tetapi ia yakin.Â