"Hei, kamu sudah siuman?" kata seseorang mengagetkan.Â
"Siapa kamu? Mengapa kamu menculikku?" seru Luna.
"Tenang, semuanya sudah diurus. Tidak usah kamu pikirkan. Suami dan anakmu aman. Mereka mendapat tunjangan kematian. Mereka akan terurus dengan baik. Ya, ya. Mereka memang sedih kehilanganmu. Tetapi, aku yakin, hal itu sebentar saja. Mereka akan mencari penggantimu. Kamu tak usah memikirkannya."
"Jahat! Siapa kamu? Mengapa berbuat seperti itu padaku?" teriak Luna, sesaat kemudian ia pingsan kembali.
***
Pagi hari tadi yang cerah, matahari muncul sempurna. Tetapi tak menjamin bahwa sore hari tidak hujan. Meski siang hari juga terik. Musim hujan selalu banyak air. Cuaca tak menentu. Terkadang hujan, reda, kemudian hujan lagi.
Melia seperti mengenal tempat ini. Tetapi entah di mana. Apalagi hujan yang deras, membuat pikirannya selalu berputaran. Ada sedikit trauma yang terbawa hingga sekarang. Ia harus berpikir keras, apa yang menyebabkan dirinya trauma terhadap hujan.
"Belikan ibu air mineral di toko itu, Melia."
"Baik, Bu. Ada lagi?"
"Tidak usah. Cukup untuk perjalanan kita nanti saja." kata ibu yang dipanggil Ibu Simon sehari-hari oleh Melia. Perjalanan masih jauh. Sedang persediaan minum di mobil sudah habis, tepat di tempat ini.
Melia menuju toko kecil semacam minimarket. Hujan yang belum reda menuntutnya membawa payung. Ia menaruh payung di depan toko, kemudian masuk.Â