Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luna dan Hujan yang Tak Kunjung Reda

4 Maret 2021   13:44 Diperbarui: 4 Maret 2021   15:36 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta.

Dipacu motornya lebih hati-hati. Jika hujan gerimis tipis, jalanan menjadi licin. Mau tak mau harus berjalan lebih pelan.

"Apakah aku perlu mantel? Tetapi jaket ini lumayan melindungiku dari hujan gerimis." katanya dalam hati. Ia urung memakai mantel.

Luna adalah perempuan tangguh. Diusianya ke-24 tidak membuatnya manja pada Bagas. Bahkan saat ia melahirkan, hanya ditunggu suster. Kebetulan suaminya sedang bertugas yang tidak bisa ditinggalkan. Jika boleh protes, ia akan mengatakan, ingin ditemani suami saat melahirkan. Tetapi, begitulah Luna. Memilih diam.

Hujan masih saja gemericik. Gerimis tipis, terkadang reda, lalu gerimis kembali. Jaket Luna basah kuyup. Ia bermaksud memakai mantel yang ada di jok motor. Berhenti sebentar mengambilnya. 

Hari pagi yang mendung menjadikan alam sedikit gelap seperti subuh. Masih sepi yang sebentar lagi ramai oleh lalu lalang kendaraan.

Tiba-tiba berhenti sebuah mobil tepat di depan motor Luna. Membawa Luna kemudian menyeretnya masuk dalam mobil. Luna tak sempat memakai mantel yang terjatuh saat ia terseret. Kejadian itu begitu cepat. Luna tak sempat berpikir dan membela diri.

Luna memberontak, tetapi dua orang laki-laki yang berbadan tegap tak mampu dilawannya. Padahal Luna memiliki ilmu beladiri. Dua orang itu tampaknya lebih tangguh. Terlebih Luna dibius hingga tak sadarkan diri.

Mobil melaju meninggalkan motor Luna.

***

"Di manakah aku? Apakah aku sudah mati? Huh, mengapa nafasku terasa sesak? Oh, Tuhan, aku terikat." kata Luna ketika ia siuman. "Siapa yang tega berbuat seperti ini? Mengapa mereka menculikku? Apa salahku?"

Luna menangis sesegukan. Ia teringat Bagas dan Putri. "Ya Tuhan, bagaimana jika aku tak bisa bertemu mereka lagi?" batinnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun