Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Piknik Tipis-tipis Mengenal Alam bersama Pak Suradin Sang Penyadap Legen

31 Oktober 2020   14:01 Diperbarui: 31 Oktober 2020   21:43 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piknik tipis-tipis mencari legen. | Foto: Wahyu Sapta

Setelah turun, kamipun berkenalan. Namanya Pak Suradin, sedangkan istrinya bernama Ngatmi. Ngobrol sana-sini, lalu saya bertanya, sehari dapat berapa, pak? Lumayan katanya. Cukup untuk makan sehari-hari dan kebutuhannya. Dengan dialek Rembang yang khas, kami mendengarkan mereka bercerita.

Kami kemudian mengobrol dengan Pak Suradin Sang Penyadap Legen berserta istrinya. Dengan dialek khas Rembang, mereka bercerita. | Foto: dok. Wahyu Sapta.
Kami kemudian mengobrol dengan Pak Suradin Sang Penyadap Legen berserta istrinya. Dengan dialek khas Rembang, mereka bercerita. | Foto: dok. Wahyu Sapta.
Dengan penghasilannya, mereka bisa membesarkan anak semata wayangnya, yang sekarang sudah menikah dan memiliki momongan. 

Dalam kondisi pandemi pun, mereka tidak pernah kering penghasilan, karena bisa mendapat penghasilan dari menyadap legen. "Pasti ada yang cari, Bu." katanya. Ya, rezeki memang tidak akan kemana. Jika sudah rezeki, maka akan sampai pada pemiliknya. Dengan syarat rajin dan mau bekerja. Karena alam menyediakannya dan tinggal mengambilnya. Dengan pekerjaan mencari legen, mereka tidak kekurangan. 

Duh, kami banyak belajar dari mereka berdua. Piknik tipis-tipis ini selain menikmati alam, juga membuat kami bertambah ilmu. Belajar dari kehidupan yang mereka jalani, dengan kesahajaan dan bersahabat dengan alam sekitarnya. Bahagia yang mereka dapatkan dengan kepolosan yang mereka punya. "Ya memang pekerjaan kami seperti ini, maka asal mau dan rajin, maka akan kecukupan." kata mereka.

Kamipun pamit, setelah mendapat 3 botol besar legen dan 3 botol besar gula cair dari bahan legen. Semuanya seharga seratus tiga puluh lima ribu rupiah. 

Mereka juga berkata, hendak beranjak pulang ke rumah. Loh, kenapa? Saya bertanya. Mereka menjawab, karena situasi mendung, nanti sedikit yang akan membeli legen. Apalagi tadi legen mereka sudah habis diborong oleh kami. Alhamdulillah.

Sesampai rumah, legen tersebut kami bagi untuk saudara yang berkumpul di rumah Eyang. Harus segera habis karena akan berbeda rasa jika terlalu lama di luar.  Sedangkan gula merah cair lebih awet. Untuk oleh-oleh saudara yang pulang ke Jakarta.

Piknik tipis-tipis mencari legen ke penyadapnya langsung. Hihi... cuma bundanya yang narsis minta difoto. Lainnya ogah. Kan mumpung sampai sana, kan? | Foto: Dokumen Pribadi.
Piknik tipis-tipis mencari legen ke penyadapnya langsung. Hihi... cuma bundanya yang narsis minta difoto. Lainnya ogah. Kan mumpung sampai sana, kan? | Foto: Dokumen Pribadi.
Piknik tipis-tipis tak perlu jauh, bisa saja ke alam dan penduduk sekitar. Menimba ilmu darinya dan memperoleh pemandangan yang masih alami. Membuat lebih rileks juga bermanfaat.

Menikmati alam, juga belajar darinya. | Foto: dokumen pribadi.
Menikmati alam, juga belajar darinya. | Foto: dokumen pribadi.
Pati, 31 Oktober 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun