Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kupat Blengong yang Tak Bikin Bengong

20 Januari 2020   22:43 Diperbarui: 21 Januari 2020   05:36 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu porsi Kupat Blengong, yang dinikmati bersama sate bumbu semur pedas dan blengong goreng. Sedaaap...! (Dok. Wahyu Sapta).

"Pernah ada pembeli yang khusus datang dari Semarang melewati jalan tol, hanya untuk menikmati Kupat Blengong ini."

Hari Minggu kemarin (19/01/20), saya mengunjungi Pagerbarang Tegal. Ada kepentingan di sana untuk bertemu dengan seseorang. Dari Semarang saya berangkat pagi, berdua dengan suami. Pukul 05.30 berangkat dari rumah. 

Kurang lebih dua jam ketika sampai di pintu keluar Tol Adiwerna Tegal. Ongkos yang dipotongkan ke kartu tol saya sebesar 141.000 rupiah, yang terhitung dari Pintu Tol Kalikangkung. Tetapi jika dari pintu masuk Tol Kota, masih ditambah 5.000 rupiah. 

Jembatan Merah di Weleri, lokasi di area dalam jalan tol. (Dok. Wahyu Sapta).
Jembatan Merah di Weleri, lokasi di area dalam jalan tol. (Dok. Wahyu Sapta).
Karena belum sarapan dari rumah, maka saya sempatkan berhenti di Rest Area 360 untuk sarapan. Harga yang dibandrol lumayan di atas rata-rata. Air mineral saja, yang biasanya 3.000 rupiah menjadi 7.000 rupiah. Dua kali lipat lebih. Saya sih memakluminya, karena memang berada di lokasi yang jauh dari tempat biasanya.

Kemudian saya meneruskan perjalanan. Saya menuju ke Pagerbarang Tegal harus melewati Jatibarang Brebes. Itu jarak terdekat yang ditunjukkan oleh Google Maps saat saya meminta bantuannya. Ini adalah kali pertama saya mengunjungi lokasi tersebut. Meskipun jalan yang harus ditempuh masih terasa asing, berliku, tetapi tetap saya ikuti. Dan Alhamdulillah sampai juga di tempat yang dituju. Tentu saja dengan meminta share location sebelumnya, agar arahnya tidak nyasar.

Setelah urusan selesai, hari sudah menjelang siang. Saya bertanya, "Selain tahu aci dan soto tauto, apa makanan khas lainnya dari kota Tegal?" Karena memang dua-duanya, sudah pernah saya rasakan.

Lalu salah seorang dari kami bertiga menjawab, "Kita coba Sate Blengong yuk,"

"Eh, makanan apaan tuh?" Saya bertanya sambil bengong. Apakah Blengong itu adalah bagian dari bengong? Lalu dijawabnya, "Bukaaan...." 

Karena kepo, maka saya iyakan saja. Yang ada di benak saya, Blengong adalah nama sebuah tempat. Duh, jangan-jangan nanti sate kambing? Padahal ada yang tidak boleh makan daging kambing. Saya kemudian searching di google. Ternyata Blengong adalah hewan hasil perkawinan antara bebek dan mentok (entok). Sejenis unggas, bukan kambing seperti dugaan saya. Hahaha... Baiklah, saya lega. 

Daging Blengong banyak ditemukan di Kota Tegal dan Brebes. Di kota lain hampir tidak ada. O, pantas saja, saya baru mendengarnya. Padahal daging unggas ini sudah lama ada sejak tahun 1970, loh. Berarti saya yang kurang piknik ya.

Katanya, tekstur dagingnya mirip bebek yang memiliki serat, tapi lebih lunak dan lembut saat dikunyah. Dengan tekstur tersebut, maka daging blengong cocok untuk diolah menjadi sate. Konon katanya juga, jika disate rasanya mirip daging kambing. Oh ya? 

Kami kemudian menuju ke daerah Jalan Sawo, Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. Di sana banyak yang menjual Sate Blengong. Ada Sate Blengong Pak Nanang, Pak Yanto, Pak Diryono dan yang lainnya. Makanan ini sudah lama ada, dan di Jalan Sawo ini pusatnya. 

Banyak yang menjual Sate dan Kupat Blengong di Jalan Sawo, Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. (Dok. Wahyu Sapta).
Banyak yang menjual Sate dan Kupat Blengong di Jalan Sawo, Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. (Dok. Wahyu Sapta).
Tetapi saya harus gigit jari, karena ketika tiba di lokasi, semua tempat yang menjual Sate Blengong masih tutup. Saya datang terlalu awal. Mereka buka pukul 16.00. Sedangkan saya tiba pukul setengah tiga sore. Masih satu jam lagi kira-kira bukanya. Ya sudah. Mungkin belum rezeki saya untuk bisa merasakan seperti apa Blengong itu. Kami memutar, meneruskan perjalanan untuk pulang. 

Tapi, eh, saat melintas di lokasi yang masih sama di Jalan Sawo agak ke pinggir, ada warung yang sudah buka menjajakan Kupat Blengong dan Sate Blengong juga. Warungnya Mba Rum. Kamipun mampir. Dan lagi-lagi harus kecewa, ternyata mereka belum siap dengan bahannya, karena makanan masih dalam perjalanan. Minuman saja yang sudah tersedia. 

Lalu kami menuju kendaraan untuk segera berlalu. Dan aha! Sebelum sempat masuk mobil, Ibu penjual datang dengan naik sepeda motor membawa bahan sajian makanannya. 

Memang, ya, kalau sudah rezeki, pasti akan berjodoh! Lalu kami kembali dan duduk di tempat lesehan. Ternyata, bukan kami saja yang sabar menunggu warung buka. Ada serombongan beberapa orang, yang juga sudah menunggu warung buka. Bahkan mereka sudah ada sebelum kami datang. Wah, saya jadi tambah kepo nih.

Sate Blengong yang dibakar belum ada, karena tungku pembakaran belum siap. Yang ada Kupat Blengong. Ya, ya. Tak apalah. Saya juga ingin mecicipnya. Seperti apa rasanya. Pasti sedap, karena banyak yang rela menunggu untuk mencicipnya. 

Bahkan menurut Ibu penjualnya, pernah ada pembeli yang khusus datang dari Semarang melewati jalan tol, hanya untuk menikmati Kupat Blengong ini. "Kayak saya dong, bu." kata saya dalam hati. Tuuiing...! 

Kupat diberi sambal yang diulek langsung, kemudian ditabur di atas kupat sebwlum diberi kuahnya. (Dok. Wahyu Sapta).
Kupat diberi sambal yang diulek langsung, kemudian ditabur di atas kupat sebwlum diberi kuahnya. (Dok. Wahyu Sapta).
Saya meminta izin untuk memotret beberapa. "Saya kepo, bu. Boleh ya memotret?" Ia mengangguk seraya tersenyum. Sambil mengobrol, terungkap bahwa ia baru dua bulan berjualan Kupat Blengong ini. Dan Alhamdulillah semakin ramai, katanya. Ia dulu berjualan ikan bakar sebelumnya. 

Lalu dengan cekatan, piring-piring telah terisi dengan Kupat Blengong. Ia terlihat membuat sambal cabai dicobek, lalu diberi kuah dan ditabur di atas kupat. Sambalnya segar. Langsung ulek. Kuahnya seperti opor, tetapi lebih kental oleh santan dan tepung maizena. Ada mie kuning dan tempe di dalamnya, tak banyak. Hanya sebagai pelengkap saja. Kemudian di beri toping kerupuk. 

Kuahnya seperti opor, hanya lebih kental. (Dok. Wahyu Sapta).
Kuahnya seperti opor, hanya lebih kental. (Dok. Wahyu Sapta).
Sepiring Kupat Blengong siap disantap!

Sebagai teman santapan, ada sate basah masak semur pedas. Juga daging blengong goreng. Mantap. Kupatnya sedap segar, ada taburan kerupuk di atasnya. Kalau dulu saya pernah merasakan, ini semacam Kupat Glabed yang memang juga merupakan makanan khas Tegal. Tetapi ditambah dengan kuah kaldu Blengong. Lebih gurih tentunya. 

Sebagai teman kupat, ada sate basah bumbu semur pedas. Rasanya mantap, sedap. (Dok. Wahyu Sapta).
Sebagai teman kupat, ada sate basah bumbu semur pedas. Rasanya mantap, sedap. (Dok. Wahyu Sapta).
Benar saja, daging blengong enak. Berserat seperti daging bebek, tetapi lebih empuk. Bumbu meresap hingga ke dagingnya. Sate basahnya juga enak. Satu piring tandas. 

Baru kali ini saya merasakkan Kupat Blengong, yang merupakan makanan khas Tegal. Juga termasuk makanan khas Kota Brebes karena kedua daerah ini berdekatan. Maknyus! 

Kapan-kapan saya pengin balik merasakannya kembali, ingin merasakan sate blengong yang dibakar, di tempat yang berbeda, meski tetap di lokasi yang sama. Masih kepo dengan rasa satenya. 

Saatnya berhitung. Harganya tidak merogoh kocek yang dalam. Satu porsi Kupat dibandrol harga 5.000 rupiah. Sate basah bumbu semur pedas 4.000 rupiah per tusuk. Blengong Goreng 9.000 rupiah. Blengong bumbu semur 8.000 rupiah. Es Teh 3.000 rupiah. 

Daging Blengong yang digoreng. Dagingnya berserat seperti daging bebek, tetapi lebih empuk. (Dok. Wahyu Sapta).
Daging Blengong yang digoreng. Dagingnya berserat seperti daging bebek, tetapi lebih empuk. (Dok. Wahyu Sapta).
Nah, kan. Mantap. Coba saja jika ke Kota Tegal, sempatkan mampir mencicip Kupat Blengong yang tak bikin bengong. Sedap dan tak harus merogoh kocek dalam-dalam. Juga Sate Blengong yang dibakar, katanya satu kodinya 60.000. Hahaha... ssst... di sana kalau beli sate, hitungannya kodian, ya. Satu kodi jumlahnya 20 tusuk. Unik, kan? Dan yang ini saya masih kepo pengin merasakannya. 

Sebelum pulang, saya mengajak Bu Rum untuk berfoto. Hehehe... (Dok. Wahyu Sapta).
Sebelum pulang, saya mengajak Bu Rum untuk berfoto. Hehehe... (Dok. Wahyu Sapta).
Sampai jumpa kembali di kuliner selanjutnya ya... 

Salam, 
Wahyu Sapta. 
Semarang, 20 Januari 2020. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun