Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Menikmati Sepiring Gendar Pecel di Sela Memancing

12 Januari 2020   22:19 Diperbarui: 14 Januari 2020   16:09 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seporsi Gendar Pecel, sedap dan rasa pedesaan. (Dok. Wahyu Sapta).

Hari Minggu adalah hari yang menyenangkan, tatkala bisa berlibur bersama keluarga. Tak harus ke tempat wisata yang sudah dikenal, tetapi saat jalan-jalan ke desa menikmati pemandangan alam, bisa membuat hati lebih senang.

Menemukan hal-hal baru, belajar ke alam, dan menyapa orang-orang yang  baru dikenal. Menuruti hati, kemana arah melaju.

Kami bertiga, di hari Minggu (12/01/20) sepakat ke Ambarawa. Suasana alam yang masih hijau, menjadi pilihan. Apalagi dimusim penghujan ini, daun-daun kering sisa riuh kemarau dulu, telah tergantikan oleh hijaunya pucuk baru bertunas.

Ketika dari rumah, kami harus melewati jalan tol, kemudian keluar GTO Bawen. Menuju jalan arteri Ambarawa, lalu ketika sampai persimpangan, belok kiri ke arah Banyubiru. 

Melewati jalur arteri Ambarawa. Pemandangan yang indah. (Dok. Wahyu Sapta).
Melewati jalur arteri Ambarawa. Pemandangan yang indah. (Dok. Wahyu Sapta).
Tetapi bukan Banyubiru yang kami tuju. Melainkan Desa Brongkol Kecamatan Jambu. Masuk dalam wilayah Kabupaten Semarang. Karena berdekatan dengan Ambarawa, maka saya menyebutnya Ambarawa. Padahal masih beberapa kilometer lagi.

Sepanjang jalan ke arah Desa Brongkol, dimanjakan oleh pemandangan persawahan dengan padi menghijau. Cuaca sedang cerah. Jalanan tak basah, sehingga membuat nyaman perjalanan, juga sehat untuk mata. Awan-awan putih berarak, menghiasi langit yang biru. MasyaAllah. 

Awan putih berarak di langit yang biru. Indah banget... (Dok. Wahyu Sapta).
Awan putih berarak di langit yang biru. Indah banget... (Dok. Wahyu Sapta).
Alam yang hijau, saat musim penghujan, tunas mulai tumbuh, padi terhampar menghijau. Khas Indonesia yang beriklim tropis. (Dok. Wahyu Sapta).
Alam yang hijau, saat musim penghujan, tunas mulai tumbuh, padi terhampar menghijau. Khas Indonesia yang beriklim tropis. (Dok. Wahyu Sapta).
Desa Brongkol merupakan sebuah desa sentra durian. Banyak pedagang durian yang menjajakannya di tepi jalan. Hem, bau harum durian menyentuh hidung, menari-nari ingin dicicip.

Ketika tadi dari rumah, kedua lelaki teman seperjalanan saya mempersiapkan pancing dan umpannya. Maka bisa ditebak. Bukan durian tujuan utama. Tetapi salah satu dari mereka berjanji, "Nanti kita makan durian, ya." katanya. Baiklah, saya cukup terhibur dangan janjinya tadi. Karena menunggu mereka memancing, pasti akan lama.

Saya hanya membatin, mengapa juga mencari tempat memancing jauh sekali. Tetapi ketika di perjalanan menemukan pemandangan yang aduhai indahnya, maka hati menjadi senang tak jadi manyun. Ternyata tak hanya memancing, tetapi juga mencari suasana baru agar tak bosan. Setelah keseharian menghadapi rutinitas dan monoton. 

Mereka asyik memancing. (Dok. Wahyu Sapta).
Mereka asyik memancing. (Dok. Wahyu Sapta).
Sampailah pada tempat pemancingan. Tempat ini milik Bu Pariyah. Menemani memancing untuk kedua lelakiku, apa sih yang tidak. Meskipun jujur, saya tak hobi memancing.

Hanya kadang ingin tahu, seperti apa rasanya memancing. Tentu saja bagi penghobi mancing, ada keasyikan tersendiri dan kepuasan. Apalagi jika mendapatkan banyak ikan yang terkail. 

Pancing mulai dikeluarkan, mereka bersiap ke arah kolam pancing. Dan saya? Duduk manis di warung milik Bu Pariyah. Selain ada pemancingan, Bu Pariyah juga membuka warung yang menyediakan makanan. Warung kecil dan sederhana. 

Nah ini. Saya kepo dengan menu utama dari warung Bu Pariyah. Gendar Pecel. Jarang saya menemui menu ini, kecuali di tempat tertentu. Misalnya di pedesaan seperti di sini. Hem. Seperti apa rasanya, ya? Saya melihat warungnya cukup bersih. Maka saya tak ragu untuk memesannya. 

Bu Pariyah, sibuk melayani pembeli sambil memasak. (Dok. Wahyu Sapta).
Bu Pariyah, sibuk melayani pembeli sambil memasak. (Dok. Wahyu Sapta).
Saya memesan tiga porsi. Tetapi saya harus menunggu beberapa saat, karena sayur belum matang. Tak apa. Saya rela menunggunya. Sambil mempersiapkan masakan, saya bertanya pada Bu Pariyah, bagaimana cara membuat gendar. Katanya, seperti memasak nasi liwet, tetapi memakai air yang lebih banyak.

Beras dicampur bahan pembuat gendar, kemudian dimasak hingga matang. Jangan lupa diaduk-aduk agar tak gosong. Lalu ditumbuk hingga halus, di tempatkan dalam sebuah wadah, dan siap disajikan. 

Gendar ditaruh di atas piring, kemudian diberi sayur dan disiram dengan bumbu pecelnya. (Dok. Wahyu Sapta).
Gendar ditaruh di atas piring, kemudian diberi sayur dan disiram dengan bumbu pecelnya. (Dok. Wahyu Sapta).
Sayur telah matang. Gendar kemudian diiris dan ditaruh di atas piring. Sayuran sederhana hanya kol dan kecambah. Lalu disiram dengan bumbu pecel. Pesanan siap disantap, dengan gorengan sebagai temannya. 

Hem, rasa gendar ini enak. Pas, tidak terlalu banyak blengnya. Jadi masih dalam taraf aman untuk disantap. Sayur yang baru matang dan tidak terlalu lama memasaknya, sehingga segar. Kres-kres dari sayur memberi sensasi senang.

Bumbu pecelnya asin manis tapi tak terlalu manis. Ia membuat bumbu pecel racikan sendiri. Hem. Sedap. Khas masakan desa. Meski memasaknya tidak memakai kayu dan memakai kompor gas.

Tak terasa sepiring gendar pecel telah berpindah tempat. Membuat penuh isi perut. Sensasi pedesaan ada di dalamnya, berbeda dengan pecel pada umumnya yang biasa saya temui. Harganya pun murah meriah.

Satu porsi gendar pecel hanya 6.000 rupiah. Gorengan seribu rupiah. Es teh 3.000 rupiah. Lapar hilang dan sensasi rasa baru telah masuk koleksi memori kuliner saya. 

Gorengan sebagai teman gendar pecel. (Dok. Wahyu Sapta).
Gorengan sebagai teman gendar pecel. (Dok. Wahyu Sapta).
Waktu kian merambat. Kedua lelakiku yang sedang memancing masih asyik dengan kailnya. Saya terkadang mengikuti mereka dan mencoba memancing. Memang saya tak berbakat memancing dan tidak sabar. Akibatnya saya tak mendapatkan ikan satu ekor pun.

Saya bertanya kepada salah satu dari mereka, "Dik, kamu sudah dapat ikan berapa?" Ia menjawab, "Sudah dapat tiga, Bun. Ayah dua ekor." Oh, baiklah, saya sedikit lega. Tak ada yang pulang sambil cemberut karena tak mendapatkan ikan. 

Mereka masih asyik dan saya membiarkannya. Nanti saat mereka sudah merasa puas, pasti akan mengajak pulang. Sayapun menuju warung Bu Pariyah kembali. Duduk dan mengajaknya ngobrol. Dari tadi saya perhatikan ia begitu sibuk melayani pembeli, yang kebanyakan adalah pemancing. Bahkan tetangganya banyak juga yang membeli gorengan. 

Ia sempat keteteran karena tidak ada yang membantu. Beberapa orang harus kecewa karena gorengan belum matang. Ia bilang, ini hari Minggu, maka ramai pembeli dan pemancing yang berkunjung. Dan biasanya ada anaknya yang membantu. Sedangkan hari itu anaknya ada kepentingan lain sehingga tidak bisa membantu.

Saya melihat ada durian yang tergantung di depan warung. Kata Bu Pariyah, tinggal satu. Saya bertanya, yang itu harganya berapa? 80.000 rupiah. Ini durian enak. Meskipun dalamnya putih, tapi manis sekali. Durian berpindah tangan, akan saya bawa pulang ke rumah. 

Durian ini seharga 80.000 rupiah. Rasanya manis. (Dok. Wahyu Sapta).
Durian ini seharga 80.000 rupiah. Rasanya manis. (Dok. Wahyu Sapta).
Akhirnya, kedua lelakiku yang memiliki hobi sama, merasa cukup dan mengajak pulang. Syukurlah. Jadi saya tak perlu lama-lama membatu dan berlumut. Ikan ditimbang satu setengah kilo dengan harga 35.000 rupiah perkilo. Masih mentah dan saya harus memasaknya saat tiba di rumah. 

Saatnya pulang. Dan sesuai janjinya, maka kami mampir membeli durian. Padahal tadi saya sudah kepencut durian ketika di warungnya Bu Pariyah. Wah, ia menepati janjinya. 

Kami berhenti di sebuah kios durian. Saya minta satu dibuka dan makan di tempat. Warnanya putih. Dan wow, manis sekali. Ketika saya bertanya pada penjualnya, ini durian apa?

Ia hanya tersenyum, dan menjawab, "Kalau orang sini lebih mengenal ini adalah durian kangen." Lalu kami ikutan tersenyum. Terserah dirimu deh, bu. Karena saya tidak hapal dengan jenis durian, maka manut saja. 

Durian Kangen dari Brongkolan Jambu Kabupaten Semarang. Meskipun putih warnanya, tetapi manis rasanya. (Dok. Wahyu Sapta).
Durian Kangen dari Brongkolan Jambu Kabupaten Semarang. Meskipun putih warnanya, tetapi manis rasanya. (Dok. Wahyu Sapta).
Durian bisa dimakan di tempat. Sedap. (Dok. Wahyu Sapta).
Durian bisa dimakan di tempat. Sedap. (Dok. Wahyu Sapta).
Kami pulang dengan membawa tiga durian yang telah dikupas dan satu makan di tempat dengan harga 150.000 rupiah. Lebih murah dari yang tadi saya beli di warung. Tetapi memang lebih kecil. 

Alhamdulillah, pulang ke rumah dengan suasana yang lebih segar. Mengenal kuliner Gendar Pecel dan durian dari Desa Brongkol Jambu Semarang. Dan keesokan harinya, kami bertiga kembali kepada rutinitas seperti semula. 

Pemandangan yang indah dengan udara yang masih bersih, membuat kita segar kembali. Senyum manispun terjelma. (Dok. Wahyu Sapta).
Pemandangan yang indah dengan udara yang masih bersih, membuat kita segar kembali. Senyum manispun terjelma. (Dok. Wahyu Sapta).
Salam,
Wahyu Sapta.
Semarang, 12 Januari 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun