Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Siksa Cinta

27 November 2019   23:10 Diperbarui: 27 November 2019   23:29 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Loop

Jiwaku meronta. Tetapi aku begitu sayang padanya. Aku tak mau ia terluka. Tetapi, terpaksa aku melukainya. Hati lembut itu pasti akan tertoreh perih sembilu. Dan ia akan menangis begitu pilu. Aku tak akan sanggup mendengarnya. Apalagi jika nanti ia melawan ayahnya. Akan menjadikan lipatan rasa bersalahku mengunung-gunung.

Baiklah. Tanpa suatu pesan aku meninggalkannya. Aku kuatkan hati agar tak lagi menengok ke belakang. Melihat Dwipa.

Sungguh. Suatu siksa. Bila aku tak tahan, bisa membuatku ingin mati. Tetapi aku ingat Tuhan. Aku masih memiliki nalar, agar berpikiran logis.

Sisa-sisa cinta aku bawa. Tersimpan rapi hingga bertahun lamanya. Cintaku pada Dwipa, mungkin seperti matahari dan rembulan. Berjalan beriringan, tetapi tak pernah bertemu. Aku berada di dunia yang berbeda dengannya. Entah ia dimana dan aku dimana.

Ketika tekat membara dan terluka, memacu semangatku menggila. Entah karena memang bakatku, atau karena keberuntungan. Jadilah aku seperti sekarang. Aku rasa, menjadi terkenal karena beruntung dan kerja keras.

Kadang-kadang keinginan untuk bertemu Dwipa menggebu-gebu. Ingin membuktikan kepada ayahnya, bahwa seniman juga bisa menjadi jaminan masa depan. 

Secara diam-diam, aku mengunjungi rumahnya. Tetapi sebenarnya, hanya melewatinya saja. Tak benar-benar datang dan mengetok pintu rumah. 

Lagi pula, aku rasa ia sudah pindah. Karena tak ada tanda-tanda bahwa rumah itu berpenghuni. Kosong. Rumput di depan rumah meninggi dan tak terawat.

Aku tak akan bisa menemuinya kembali. Karena aku tak tahu kemana ia pindah. Akhirnya aku menyerah. Tak mencarinya lagi. Berusaha melupakannya.

***

"Mas, punya waktu?" tanyamu suatu hari lewat telepon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun