Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Semenjak Saat Itu

6 November 2019   07:34 Diperbarui: 6 November 2019   07:30 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Hari ini aku pulang sekolah lebih awal. Berboncengan sepeda bersama adik.  Ada guru yang meninggal, lalu murid-murid dipulangkan lebih awal. Sekolah kami SMP 10. Adik hanya terpaut satu tahun. Ia menjadi teman curhat dikala sedih. Semenjak kepergian ibu, adik menjadi pendengar yang baik. Tak pernah protes. Meski aku tahu, ia juga membawa kesedihan yang sama. Tentang kepergian ibu dan patah hatinya ayah.

Sesampai di rumah, sedang sepi. Pasti ayah menengok sawah. Musim panen tiba kembali. Padinya sebentar lagi panen.

Sawah ayah luas. Dua hektar. Lahannya subur. Ayah telaten dalam bertani. Yah, memang bukan ayah yang melakukan dalam arti sebenarnya. Seperti mencangkul dan menanam padi. Ada pegawai yang membantunya. Ayah hanya memberi cara menanam dan bagaimana perlakuan terhadap padi.

Ayah seorang yang cerdas. Aku sangat mengaguminya. Ia petani sukses, meski sempat beberapa waktu lalu sawah terbengkalai. Tapi ayah tetap merawat sawah dengan baik.

***

Ketika sampai di ruang tengah, ada seseorang seusia ibu. Hanya tampak lebih muda. Aku belum pernah melihatnya. Tapi ia terlihat ramah. Ayah ada di sampingnya. Aku menatapnya curiga. Hem... jangan-jangan ia ingin menggantikan posisi ibu? Aku tak mau ia menjadi pengganti ibu. Juga tak mau ayah berpaling darinya. Aku ingin masuk ke kamar, tanpa melihatnya. Tapi ayah mencegah dan memanggil agar mendekat.

"Nok, ke sini sebentar, kenalkan. Ibu Dira, teman ayah saat sekolah dulu." Aku berhenti sebentar. Di hadapan ibu Dira, salim lalu cepat-cepat berlalu. Tak ingin mengetahui lebih jauh.

Hatiku sakit seperti tersayat sembilu. Hancur berkeping-keping. Kemana kesetiaan ayah? Lalu, ketika ayah sedih, bukankah itu untuk ibu? Aku ingin lari. Tak ingin melihat ayah duduk dekat ibu Dira. Sekilas kulihat adik hanya bengong tanpa bisa berkata sepatah katapun.

***

Semenjak saat itu, aku lebih rajin mengunjungi makam ibu. Malas makan sehingga menjadi kurus. Aku tidak perduli.

Tetapi ayah menjadi rajin merawatku. Tak lelah merayu, agar aku jangan bersedih. Seperti dulu saat aku merayu ayah, ketika sedih kehilangan ibu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun