Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Dia, Sarita

1 November 2019   06:44 Diperbarui: 2 November 2019   18:34 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Pixabay.com/suju

Aku menyebutnya tempat rahasia. Ya. Sebuah tempat di mana ada  pertemuan antara aku dengan Sarita. Sudah satu tahun ini terjadi.

Tiap bertemu dengannya, ada perasaan yang membuatku bahagia. Tak dapat aku lukiskan dengan kata-kata. Sungguh.

"Hei, Dimitri, bagaimana kabarmu hari ini? Aku harap kamu baik-baik saja," sapanya hari ini. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum mengiyakan perkataannya. Aku memang tipe pendiam dan tidak ingin berbicara saat ia tak menyapa terlebih dahulu. Hingga kadang sepuluh menit berlalu, baru ada beberapa kata keluar dari mulutku. Itupun hanya sedikit.

"Kapan kita akan bertemu kembali, Dimitri? Kuharap secepatnya ya, agar aku tak terlalu kangen padamu,"

Oh, tentu saja bahagia mendengar perkataannya. Sarita adalah gadis yang baik dan sayang padaku. Aku mengangguk dan segera meninggalkannya terlebih dahulu. Katanya, ia ingin memastikan aku aman dan melihat aku menghilang di balik tikungan. "Itu sesuatu, Dimitri." katanya. Oh, Sarita. Kau sungguh membuatku semakin tergila-gila padamu.

***
Hari ini aku sedih. Menunggu Sarita hingga lama. Membuatku cemas. Apa yang terjadi padanya? Sudah dua jam dari waktu biasanya, ia belum datang. Di tempat rahasia ini, hanya ada aku. Mengharap ia datang, menunggunya hingga terkantuk.

Ia tak datang.

Akhirnya aku harus pergi meninggalkan tempat untuk pulang. Tempat rahasia ini ada pemiliknya. Bisa dimarahi, jika aku tetap bertahan. Dan aku tak mau mereka berteriak mengusirku. Ya, ya, meskipun tempat rahasia ini hanya untuk aku dan Sarita, tetapi bukan milikku. Seandainya milikku, aku akan menunggunya hingga berlumut.

***
Sore ini aku sakit. Mungkin demam. Kepalaku pusing seperti berdenyut. Jika sakit, bagaimana aku bisa menemui Saritaku? Jam yang biasa aku menemuinya. Pasti ia sudah menunggu. Aku berharap ia datang, meski dua hari ia tak datang.

"Dimitri, sudahlah. Jangan terlalu memikirkan Sarita. Mungkin ia sedang sibuk, hingga ia tak bisa menemuimu," kata mama.

Hem. Mama tak tahu apapun tentang Sarita. Ia tak pernah ingkar janji, Ma. Pasti ada sesuatu yang telah menimpanya. Ataukah... ia sakit? Aku juga sakit, karena kemarin kehujanan saat menunggunya.

Sebenarnya aku bisa saja cepat pulang saat hujan mulai datang, tapi aku masih bertahan beberapa waktu. Demi Sarita. Demi cintaku.

Aku putuskan untuk menemui Sarita seperti biasa, meski mama mencegahku.

Hei, itu Sarita! Memakai syal dan membawa kotak makanan di tangannya. Pasti untukku. Ia selalu membawa makanan kesukaanku. Meski bukan permintaanku.

Kami berpelukan sekilas.

"Hei, Dimitri, badanmu hangat. Apakah kamu sakit? Apakah kau sudah meminum obat? Butuh obatkah? Aku belikan ya? Dimitri, kau pucat!" seru Sarita cemas. Wow...wow... dia bahkan lebih cemas daripada mama.

Aku menggelengkan kepala. Begitu cemasnya ia padaku. Padahal aku hanya sedikit demam. Aku justru mencemaskannya, sedikit sesak yang kudengar dari nafasnya. Ia juga memakai syal, pertanda bahwa sedang tak sehat.

Kami berdua duduk santai di kursi. Berdampingan. Di tempat rahasia. Ah, sebenarnya sih, bukan rahasia sekali. Tetapi karena tempat ini favoritku dan ia.

"Dimitri, kamu tahu? Hanya kamu temanku." Ia mulai curhat. "Dua hari aku tak datang. Pasti kamu menungguku, ya? Maafkan aku, Dimitri. Aku sakit. Dan hari ini aku datang, membawa makanan kesukaanmu. Sungguh, aku kangen padamu," cerocos Sarita.

Sedang aku, hanya mendengarkan ceritanya, sambil mengunyah makanan pemberiannya.

Aku memandangnya. Hem. Dia cantik, hanya sedikit pucat. Mungkin karena sedang sakit.

"Dimitri, oh Dimitri. Kau tahu? I'm dying. Aku tak tahu. Entah apa penyakitku. Kata mama, aku harus tetap semangat. Jangan putus asa, tetap tersenyum. Kamu memberikan semangat untukku, Dimitri. Maka itu aku suka bersahabat denganmu. Ya, ya, meski kadang menjengkelkan, karena kamu begitu pendiam. Tapi aku suka padamu, sungguh!" katanya sambil memelukku.

Aku senang ketika ia memelukku. Hatiku tersentuh. Sayang sekali, aku tak bisa membantunya terlalu banyak, meskipun ingin. Oh, Sarita gadis yang baik, aku selalu berharap bahwa akan selalu ada waktu untuk kita berdua bertemu.

"Dimitri, jika suatu saat aku tak lagi di sini, itu artinya aku sudah tak ada. Pergi ke dunia yang berbeda. Aku harap, kamu akan selalu mengingatku. Meski mungkin kau telah menemukan penggantiku."

Aku memandangnya, "Hei Sarita, mengapa kau berkata begitu? Hatiku sakit saat kau mengatakannya. Tentu saja kau akan baik-baik saja. Aku tak mau kehilanganmu!" kataku dalam hati sambil tercekat.

"Tapi siapa yang bisa melawan takdir?" seru Sarita.

Aku pulang. Dan tak menyangka, bahwa ini adalah pertemuan terakhir dengannya.

Hingga, entah berapa lama. Aku tetap setia menunggu Sarita. Setiap sore. Tapi ia tak pernah muncul. Hatiku patah. Hancur berkeping-keping. Apa yang terjadi padanya? Apa benar katanya, bahwa ia sudah tak ada di dunia ini? Oh, Sarita, mengapa kau begitu tega meninggalkanku?

***
Suatu hari kemudian...

Hari ini, sungguh. Aku merindukan Sarita. Menunggu di tempat biasa. Tempat Rahasia. Untuk aku dan ia. Pernah ia mengatakan, tempat rahasia ini, cukup untuk beribu tahun, meskipun aku sudah tak ada. Abadi?

Sarita, oh, Sarita, aku rindu padamu!

***
Tiba-tiba aku terkaget oleh suara keras. Seorang gadis, mirip Sarita! Hei, aku kira ia Sarita! Oh, bukan. Ia bukan Sarita.

"Mommy, dia lucu, bolehkan aku memilikinya?"

"Lalita, no! Ia pasti ada pemiliknya,"

"Tapi mommy, kasihan. Ia terlihat sendiri. Sepertinya ia nggak ada yang memiliki, deh. Mungkin ia tersesat. Come on mommy, aku suka dia. Boleh ya aku memilikinya?" kata gadis itu sambil mendekat ke arahku.

Tentu saja aku kaget, hingga bergerak reflek.Tapi, aku merasa ia gadis yang baik. Aku diam saat ia memegangku.

"Mommy, ia bernama Dimitri, terlihat dari kalungnya!" serunya girang.

"Baiklah, Lalita, Dimitri boleh kau bawa pulang. Tapi janji, bahwa kamu akan merawatnya dengan baik,"

"Thanks, mommy," kata gadis itu dengan wajah ceria. Bahagia.

"Ngeeeeeng," kataku sambil mendengkur tanda senang. Salam perkenalan untuk Lalita.

Sejak saat itu, aku berpindah tempat. Di rumah Lalita. Tak lagi di Tempat Rahasia. Tempat bertemunya aku dan Sarita. Aku telah menemukan gadis baik penggantinya. Bahkan namanya mirip.

Tapi aku tak bisa melupakan cinta: Sarita!

***
Semarang, 1 November 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun