Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Reuni untuk Bintang

24 Juli 2019   15:20 Diperbarui: 24 Juli 2019   17:20 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dok. Wahyu Sapta

Aku terus memperhatikanmu, meski kita telah terpisah jauh. Aku selalu mengikutimu. Kaukah yang dulu? Beberapa posting di media sosialmu tak pernah terlewat oleh bacaku. Aku tertegun sesaat. Aku tak akan pernah lupa cara memandangku. Dan suara itu! Aku juga tak pernah lupa.

"Alya?"

"Bintang?"

Duh, mengapa juga aku bertemu kembali dengannya? Setelah sekian lama mencoba melupakan. Sejak terakhir bertemu dan berpisah, tanpa suatu kata perpisahan. Bahkan ketika berusaha menghubungi kembali, ia menolak. Ya, ya. Memang bukan menolak secara visual. Tidak dengan kata-kata. Tetapi setiap aku menelponnya, telepon tak pernah aktif. Lost contact. Mungkin ia berganti nomor. Atau... entahlah.

"Bagaimana kabarmu?" tanyaku.

Oh no, mengapa pula aku yang bertanya ini padanya? Sudah jelas, bahwa ia yang dulu menghindariku. Dan aku masih berbaik hati menanyakan kabar itu padanya

Tetapi, demi melihat wajah yang dulu sering menghiasi hari-hariku, rasanya rontok semua rasa angkuhku. Luluh, hilang bagai menguap entah kemana.

Ia tersenyum, sambil terus memandangku. Ada binar lain dari sorot matanya. Aku yakin, ada sesuatu dalam benaknya. Mungkinkah ada yang disembunyikan? Atau, mungkin karena ini adalah momen yang terindah baginya. Sehingga ia tak mau melewatkan begitu saja.

"Kabarku baik, Alya. Aku tak pernah lupa padamu. Tak pernah lupa, juga pada senyummu." jawabnya.

Nah kan. Ia mulai merayu. Bisa lumer nih hatiku kalau begini.

Lalu kami tertawa berdua, menghanyutkan kekakuan yang sempat melanda.

"Berapa lama ya kita tak bertemu?"

"Tiga tahun mungkin. Em, entahlah. Memangnya, kamu kemana saja? Setelah lulus kuliah, kamu menghilang?" tanyaku. "Aku kau tinggalkan begitu saja. Bahkan telponmu tak pernah aktif. Kemana saja? Kamu curang!" sambungku dalam hati, agak emosi. Wajahku sedikit pias. "Please, cold down Alya," batinku. "Tetapi, mumpung bertemu dengan Bintang, tak ada salahnya kutumpahkan rasa ingin tahuku selama tiga tahun terakhir ini," lanjutku dalam hati.

***

Tahun ini, diadakan reuni. Setelah beberapa lama berpisah. Masing-masing memiliki kesibukan. Saatnya timbul rasa kangen masa-masa berkumpul dulu. Kejahilan dan suka duka yang pernah ada saat belajar bareng, tiba-tiba mengelibat. Reuni akan mengobati kerinduan itu.

Tiga hari lalu, undangan reuni ada di atas meja. Dari alumni tempatku kuliah dulu. Tentu saja aku menerimanya dengan hati riang sekaligus dag dig dug. Pasti ada Bintang! Batinku. Maka akupun merencanakan datang. Kata Sita sebagai panitia reuni, Bintang mengkonfirmasi bahwa ia akan datang.

***

"Aku sekarang di Medan, Alya. Maaf jika aku tak memberimu kabar. Tapi sebenarnya dalam hatiku ada dirimu. Selalu."

Hum, mulai deh. Bintang mengeluarkan jurus rayuan gombalnya lagi. Aku merasa tak berdaya. Bagai di atas angin dan tak menapak tanah. Ups, memang hantu? Aku tersenyum dalam hati.

"Lalu, mengapa tak memberitahuku? Bukankah ada telepon? Dan kau tahu nomer telponku kan?" protesku.

"Nah, itu dia, aku kecopetan saat perjalanan ke sana. Termasuk ponselku hilang. Padahal semua nomor tersimpan di sana. Aku kehilangan semua kontak, termasuk kamu."

"Oke, aku mengerti. Pantas saja saat aku menelpon, ponselmu tak aktif."

Beberapa teman mulai berdehem-dehem. Mereka memaklumi, ada rindu antara Alya dan Bintang. Dulu, akrab sekali. Banyak yang menduga, aku dan ia berpacaran. Begitukah? Padahal nyaris.

Aku melihat sekeliling ruangan. Beberapa teman sudah menggandeng pasangannya. Bahkan ada yang menggendong bayi mungil. Sedang ia, hanya datang sendiri. Masih sendiri? Aku melirik jari manis di tangannya. Masih kosong, tak ada sebentuk cincinpun yang melingkar di sana.

Hem. Bintang belum memiliki kekasih.
Aku masih memandang sekeliling ruangan gedung tempat reuni. Teman-teman masih saling mengobrol. Tertawa riang. Bahagia. Sesekali mereka sambil mencicipi hidangan yang tersaji di meja besar yang berisi banyak makanan.

Aku dan Bintang masih saja bercengkerama. Berdekatan sambil mengobrol. Seperti tak ingin lepas. Sayang sekali, bila waktu yang pendek di acara reuni ini, harus saling berjauhan, meski hanya bergeser sedikit.

"Alya, kamu sudah punya pendamping?" Aku tak menjawabnya. Hanya tersenyum tipis dan seperti misterius. Bagaimana menjawabnya? Jika melihat wajah teduhnya saja, aku merasa seperti mengantuk? Syukurlah ia tak bertanya lebih jauh.

Hingga akhirnya, acara reuni berakhir. Ia seperti sedih dan tak mau berpisah dariku.

Tiba-tiba ada bisikan, begitu dekat di telingaku.

"Alya, aku jatuh cinta padamu." katanya.

Oh, dunia seakan runtuh. Tetapi, acara reuni sudah berakhir. Aku harus segera pulang dan harus berpisah dengannya.

"Kita berpisah sampai di sini, Bintang."

"Iya, kita berpisah Alya. Bisakah kita bertemu kembali?"

"Nggak tahu, mungkin saja bisa."

"Kapan?"

"Entahlah,"

Saatnya harus tega. Benar-benar meninggalkannya. Matanya yang redup dan sayu, seakan memohon, "Jadilah permaisuriku!"

Sungguh. Saat seperti ini, aku membenci suasananya. Aroma perpisahan sangat menyesakkan dada.

"Good bye Bintang."

"Good bye Alya."

Aku mengeluarkan sesuatu dari tas jinjingku. Sebentuk kertas kotak tebal, berwarna merah maroon. Pinggiran kertas tersulam warna keemasan. Sejak lama aku merancang kertas itu hingga menjadi sebuah kertas indah.

Ya, ini untuknya. Telah tertulis namanya di sana.

"Apa ini? Undangan? Kamu akan menikah?"

Wajahnya seketika memucat. Aku tak tega melihatnya. Tetapi, aku akan menikah seminggu lagi. Dan undangan itu, telah aku persiapkan dari rumah.

"Maafkan aku Bintang, aku mematahkan hatimu di awal bertemu kembali. Kamu jatuh cinta padaku, sekaligus patah hati dalam waktu yang bersamaan," kataku lirih padanya. Entah, ia mendengar atau tidak. Tetapi yang jelas, aku melihat wajahnya sangat kecewa.

Salahkah? Jika aku akan menikah, masih dengan Bintang. Tapi bukan Bintang ia. Bintang yang aku temui setelah lulus kuliah. The same name, but different man. Orangnya baik. Dan aku mencintainya.

***

(24/7/15)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun