Sementara itu ia masih menunggu Ibrahim. Di depan sebuah rumah, yang pernah dihuninya. Ada kebahagiaan di dalamnya. Tapi, itu dulu. Runi menghela nafas dalam-dalam.
"Mengapa kamu tidak masuk?" kata seseorang.Â
Sesuatu yang tak disangka dan tiba-tiba, membuatnya terkejut. Sedangkan Ibrahim ada di sisinya. Ibrahim masih berumur sepuluh tahun. Tetapi sikap dewasanya menjadikan ia seperti anak dewasa. Selalu mengerti keadaan Runi. Dan berusaha melindungi ibunya. Ibrahim merangkul ayahnya seperti tak ingin melepasnya.
"Aku..."
"Ayolah masuk." katanya seperti sebuah perintah
"Tapi..."
"Runi, aku mohon."
Tatapan matanya yang seperti menerjang jantung hatinya, membuat luluh. Akhirnya Runi masuk menuruti kemauan Sakti.
"Mengapa kau selalu keras padaku? Lunakkanlah hatimu sedikit untukku, Runi. Demi Ibrahim, anak kita."
"Jadi, kau tak lagi marah padaku?"
"Siapa yang marah padamu? Aku telah memaafkanmu sejak lama. Sejak salah pahammu itu ada. Aku hanya menunggumu agar tak marah. Emosimu tak meledak-ledak lagi. Dan mampu berpikiran jernih."