Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pesan Cinta dari Dalam Jiwaku

10 September 2018   21:20 Diperbarui: 11 September 2018   21:38 3136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

Inilah mungkin akhir cintaku, sebelum cintamu semakin dalam. Aku tak mungkin bisa menerimanya. Kau terlalu indah untukku. Ketakutan akan keindahan itu, membuat aku membohongi hati kecilku. Maafkanlah jika aku terlalu naif dalam menghadapimu. Tetapi sungguh, perasaan cinta ini ada. Mengalir bagai anak sungai, menderas dan menimbulkan gemericik nyanyian cinta. Aku, ingin memilikimu dan tak bisa mendustainya. Mencintaimu adalah hal yang kuingini.

Bermula ketika sosok sederhanamu mampir di hampir setiap hariku. Mengisi cerianya cerita. Berbagai cerita indah membuat hatiku bahagia. Aku menemukan sesuatu sesuai yang kumau. Bagaimana bisa menolaknya? Apalagi ada kekaguman dalam hatiku, pada saat awal bertemu. Kamulah sosok yang kuimpikan.

Dari yang sudah-sudah, kamulah satu-satunya yang bisa membuat hatiku memutuskan untuk menyandarkan diriku pada sosok seseorang. Itu kamu. Yang kulihat di masa depan, aku merasa mendapat tempat pulang. Sungguh, nyaman berada di dekatmu.

***

Ketika aku mengetahui bahwa ternyata kau tak seperti dalam pikiranku yang naif ini. Kupikir, kau adalah sosok sederhana sepertiku. Ternyata bukan. Sosok sederhanamu tak mewakilinya. Kau orang yang hebat. Punya nama. Sedangkan aku bukan siapa-siapa.

"Jill, maafkan aku. Selama ini aku tak berterus terang padamu. Tetapi aku melakukannya karena aku jatuh hati padamu. Lalu mencintaimu. Dan aku tak ingin kehilanganmu. Aku tak ingin jika kau mengetahuinya, maka aku akan kehilanganmu. Apakah aku salah?" tanyamu. Aku menggeleng.

Air mata ini terlanjur mengalir jatuh.

"Andai saja kau mengatakannya sejak dulu."

Kau hanya diam. Namun perlahan merangkul pundakku saat tahu air mataku mengalir menderas. Kemudian hening. Kesunyian malam pecah oleh sebuah isak tangis. Tangisku.

"Jadi, bagaimana?"

"Entahlah."

Dan sejak hari dimana kau menanyakannya, aku sengaja menghilang darimu. Pergi. Di tempat mana kau tak akan bisa menemuiku. Menata hati. Bertahan agar aku tak mengutuk keputusanku semalaman. Melupakan sosok dirimu.

Hatiku berantakan. Ngilu dan bagai tersayat sembilu. Aku rasa, aku telah patah hati!

Aku memilih meninggalkan kota ini dengan segala kegundahan hati. Tanpa pesan. Untuk memulai hidup yang baru.

***

Pekerjaan yang menumpuk, perlahan mampu melupakanmu. Di tempat pekerjaan yang baru, menuntut aku untuk tak meluangkan waktu sedikitpun untuk menangisi kejadian masa lalu. Hanya ada masa sekarang. Masa dimana aku harus survive, jika tak ingin digeser oleh rekan kerja yang lain.

Aku menjadi gila kerja. Karirku menanjak dengan cepat. Segala apa yang aku inginkan bisa terwujud. Tetapi aku merasa jiwaku kosong. Jiwa seorang Jill yang penyendiri.

Bahagiaku saat berada di tempat kerja, mampu melebur segala gundah dalam hati. Tetapi saat pulang kerja, menatap kosong, dalam ruangan kamar, kesendirian yang pilu. Apalah artinya semuanya ini? Kebahagiaan yang semu?

Hidup memang harus tetap berjalan dan aku tak harus memarahi diri sendiri terus menerus sepanjang masa karena kesalahan di masa lalu.

***

Nancy sahabatku sekaligus teman satu kantor beberapa hari lalu mengajak untuk refreshing sejenak.

"Ayolah, Jill. Kau akan senang."

"Kemana?"

"Tempat pameran lukis. Bayu Pradana. Keren loh."

Baiklah. Aku tak mampu menolaknya. Bukankah aku juga menyukai seni lukisan? Ajakan Nancy aku iyakan.

***

Hari ini. Pameran tunggal Bayu Pradana dibuka. Acara pembukaan yang cukup menggugah hati dengan perfom musik yang sesuai dengan tema pameran.

Lukisannya sangat indah menurut pandangan mata batinku. Hem, sedikit surialis. Kataku dalam hati.

Aku tenggelam dalam memahami sebuah lukisan dengan media cat di atas kanvas besar berukuran 2x1,5 meter. Menurutku, lukisan itu seperti mewakili kegundahan hatiku saat ini.

"Bagimana menurut anda lukisan ini? Apa yang ada dalam benak anda?"

Aku tersentak. Suara itu. Aku sangat mengenalnya. Seketika aku menoleh. Lelaki dengan t-shirt putih dan celana jeans belel. Alas kaki sandal jepit berwarna hijau.

"Iwan? Kau?"

Aku pun bergegas berlari menghindarinya. Tetapi tangan Iwan mampu meraih bahuku.

"Please, Jill. Jangan pergi."

Nancy datang tepat waktu. Katanya sambil meminta maaf, tadi ke toilet dan tanpa bilang meninggalkan aku. Pantas saja dari tadi kucari dirinya tak ada. Hingga ketika aku bertemu...

"Mas Bayu Pradana. Wah, kehormatan besar bisa bertemu. Saya Nancy, dan ini teman saya Jill." kata Nancy. Loh? Bukankah?

Bayu Pradana itu kamu? Iwan? Detik itu pula aku ternganga. Bingung jadinya.

"Jill, jangan bengong begitu, ah. Ada nyamuk masuk, baru tahu rasa tuh."

Aku menggamit tangan Nancy. Menjauh sedikit dari tempat ini. "Kita pulang, yuk!" Nancy memprotesnya. "Kok pulang, sih? Bukankah kau mengatakan bahwa kamu menyukai seni lukis?"

Akhirnya aku menyerah. Baiklah.

Memang sebuah takdir tak bisa dihindari. Aku berkata pada sahabatku Nancy, bahwa Bayu Pradana adalah Iwan. Kekasihku yang aku tinggalkan dulu dan berusaha melupakannya. Dan, gantian Nancy yang terbengong. "Jill? It's really?" Aku mengangguk.

***

"Jill, mengapa kau meninggalkanku dulu? Menghilang? Apakah kau tahu apa yang terjadi saat itu? Nyaris aku gila karena kepergianmu. Dan ketika aku melihatmu hari ini. Aku bagai bermimpi. Apakah kamu Jill? Benarkah kamu Jill?"

"Iwan, maafkan aku. Pada saat itu kemarahan membelengguku. Saat kau mengajakku ke rumahmu. Aku sangat terpukul, saat mengetahui bahwa kau bukan orang biasa. Aku merasa sangat minder. Karena aku bukan siapa-siapa."

"Dan apakah sekarang kau adalah seorang siapa-siapa?" tanyamu. Aku terdiam dan mengutuki kebodohanku.

"Jill, aku mencintaimu. Aku tak peduli siapa kamu."

Sesungguhnya pintu hati ini terbuka untukmu.

Kudengar kau membisikkan sesuatu padaku dengan pelan tepat di telingaku, "Honey, hatiku mendengar suara cintamu, meneriakkan namaku oh sayang, angin membawa pesan-pesan cinta, yang berasal dari dalam jiwa kamu,"

Oh... come on Jill, dengarkanlah hatimu.

Aku cinta, kau cinta. Saat aku rindu, kau juga rasa. Bagaimana bisa menolaknya? Sebaiknya apa?

"Terimalah aku," katamu.

Senyum hanya mengembang dari bibirku.

"Aku rasa, aku bakalan setia padamu," kataku.

"Artinya?"

"Tebak sendiri," bisikku sambil memelukmu.

Kau pun terbahak. Dan berseru, bahwa aku selalu bisa saja membuat hatimu baper.

"Baper, baper," katamu.


***

Semarang, 10 September 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun