Katanya, aku berbakat sebagai Sang Penghubung. Kau tahu, apa itu penghubung? Ya, ya, begini, mungkin aku bisa saja dikatakan Sang Penghubung. Entah mengapa, di manapun posisiku, selalu saja berpotensi menjadi sang penghubung. Sewaktu aku masih kecil, saat temanku saling bertengkar, akulah yang menjadi sang penghubung mereka alias juru damai. Nah, tahu kan maksudku apa sang penghubung itu?
Atau ketika masih SMP, banyak teman yang saling naksir cinta monyet. Akulah sang penghubung, yang menyampaikan titip salam mereka. Seperti Pak Pos saja. Aku akan berusaha agar mereka bisa saling klop. Lalu saat mereka telah jadian, mereka melupakan aku sebagai penghubung. Padahal aku yang telah bersusah payah agar mereka jadian. Mereka pura-pura lupa, bahwa aku berjasa dalam cinta monyet mereka. Aku sih cuek, enjoy saja, tak sedih apalagi sakit hati, bahkan cenderung menganggap angin lalu.Â
Lalu saat mereka putus, mereka mengadu padaku. Bla... bla...bla... Wajah mereka sendu, berkerut dan tak bisa tersenyum. Biasanya aku akan memberi nasehat, bahwa dunia tak selebar daun kelor. Putus cinta, nggak usah sedih. Kalau bisa, cari lagi, dong. Mereka mengiyakan. Tak lama kemudian mereka ceria kembali.Â
Ahai.... ternyata aku juga berbakat sebagai dokter cinta!
Banyak kejadian yang membuat aku sendiri sedikit keheranan. Ketika kakak-kakakku mulai memasuki masa pacaran yang serius, aku juga menjadi penghubung mereka. Akulah yang menghubungkan mereka, bagaimana agar mereka menjalani cinta yang nyaman dan bisa nyambung. Tugasku hanya sebagai penyambung tali silaturahmi. Penyampai pesan, yang kadang-kadang kubumbui agar lebih krispi dan gurih. Salah mereka. Mengapa juga pacaran, tapi saling resmi dan kaku. Garing lagi. Seperti mau interview lowongan kerja saja. Akhirnya pacaran mereka lebih rileks dan tidak kaku. Pakai ceria, berbunga-bunga. Dunia serasa milik mereka berdua. Itu karena jasa sang penghubung yang lihai. Aku! Tapi setelahnya, aku dilupakan. Ah, sudahlah. Yang penting mereka bahagia.Â
Saat menginjak kuliah, teman-teman mulai pacaran beneran bukan cinta monyet, mereka bertengkar karena suatu hal, mereka mengadu kepadaku, dan akulah penghubung mereka agar mereka rukun kembali. Tak tahu kenapa ya, mereka percaya saja pada nasehat-nasehatku. "Kamu harus begini, ya. Kamu harus begitu," kataku. Hingga akhirnya ada yang memberiku julukan: Bayu Sang Dokter Cinta. Waaoow..karena mampu menyehatkan cinta yang hampir putus, bisa nyambung lagi? Ada-ada saja! Aku tak perduli dengan julukan itu, semua mengalir apa adanya.Â
Hingga suatu saat, Rani, teman satu jurusan datang padaku mengadu, "Bayu, kamu kan dijuluki dokter cinta, sampaikan salamku dong pada Tristan," pintanya.
Rani, gadis manis yang diam-diam aku suka! Meminta tolong padaku agar menyampaikan pesan salam buat Tristan? Oh, tidaaak.. Tapiii..bagaimanapun aku kan sang penghubung. Harus bersikap profesional. Sudah bakatku.
"Baik, Ran, nanti aku sampaikan ya..sip deh.." kataku padanya. Aku memandang Rani sendu hingga ia menghilang di kelokan jalan kampus.
Tapi apa yang terjadi, kali ini aku memberontak, aku ogah menjadi penghubung, apalagi itu untuk Rani. Ada pertarungan dalam hati, antara mengiyakan keinginan Rani untuk menyampaikan pesan pada Tristan, atau rasa sukaku pada Rani. Beberapa hari, aku galau. Aku belum juga menyampaikan salam itu. Padahal aku tahu, Rani berharap, pesan salamnya tersampaikan.
Deg!Itu Rani. Telah ada dihadapanku lima langkah. Inginku aku berbalik arah, tetapi Rani terlanjur menyapaku. Aduh...Â