Hening. Tak ada suara. Hanya detak jarum jam yang bergema bagai memekakkan telinga.Â
"Jangan pernah melupakan aku," katamu.
"Tak akan pernah," jawabku.
"Aku pergi, untuk kembali, tentu saja untukmu. Setialah padaku,"
"Fian, aku tunggu janjimu, sampai kapanpun, aku tunggu, Fian, aku tunggu," jawabku, sambil terisak, merelakan kepergianmu.
Fian pergi, untuk kembali, untukku, hanya untukku.
***
Klik!Â
Kamera mode onvideo mulai menyala. Lampu merah di atas pojok kanan berkedip, tanda kamera berputar.
"Taraaaaa...." kataku pada diriku sendiri. Aku mengambil cangkir kesayangan dan sendok kecil berpita pemberian Vita sahabatku yang sekarang tinggal di Jogja. Hem, mulailah dengan sesendok gula, kemudian kopi berpindah ke cangkir kesayangan.
"Tahu rasanya kopi? Pahit! Itu bila belum terseduh di cangkir dan tercampur gula. Bagaimana bila telah tersaji hangat, mengepulkan asap pertanda bahwa baru saja kopi dan gula terseduh, ditemani sepiring pisang goreng? Akan terasa enak, nikmat dan legit. Seperti kamu!" kataku. Sekali lagi, kata itu untuk diriku sendiri.Â