Mohon tunggu...
Wahyu Abdillah Somantri
Wahyu Abdillah Somantri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Poltekip

Taruna Poltekip angaktan 54

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wujudkan Penegakan Hukum Anti Korupsi Melalui Perbaikan Moral Aparat di Lingkungan Pemasyarakatan

23 September 2022   22:15 Diperbarui: 23 September 2022   22:15 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di manapun itu saat ini, tekanan yang diberikan oleh lingkungan maupun perilaku korupsi begitu besar dipengaruhi oleh sikap dan moralitas yang mana di dasarkan atas beberapa pandangan tertentu, baik itu moral yang di dasarkan atas agama hingga moralitas sosial yang berdasarkan oleh cita-cita dari berbagai kelompok yang ada pada masyarakat (Sihotang, 2020). Hal ini terlihat dari pemikiran dan kritik pribadi yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik. Di sinilah kepentingan nasional atau individu tercermin. Namun, beberapa orang mungkin berpendapat sesungguhnya moral dan cita-cita yang diperlihatkan hanyalah menjadi sebuah perwakilan dari kewajiban yang kabur untuk diikuti. Akibatnya, acuan moralitas dan cita-cita tersebut tidak dapat menjadi ujian legalitas undang-undang antikorupsi. Hukum harus valid bukan hanya karena diciptakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan, tetapi juga karena alasan moral.

Akan tetapi, perilaku penolakan terhadap tindakan koruptif atas sikap moralitas atau  berdasarkan keyakinan agama atau kelompok tertentu hanya dapat mengarah pada ekspresi anti-nasional ketika perilaku korup diidentifikasi sebagai komponen dari suatu kelompok (Masyhudi, 2019). Akibatnya, kepentingan bersama atau kepentingan nasional hanyalah menjadi sebuah cita-cita belaka karena ternetralisasikan oleh hukum yang telah dibentuk tanpa adanya moral. Moral yang menentang perilaku dan tindakan korupsi ditransformasikan menjadi sebuah hukum, menjadikannya agnostik kepada siapa pun. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam kekuatan tiap kelompoknya, dari kemampuan intelektual, dan kecepatan dalam mengambil tindakan berbangsa dan bermasyarakat, semua itu tentunya memiliki kedudukan yang tetap setara, sehingga sebenarnya netralitas itu juga penting untuk ada dalam menghadapi perilaku korupsi yang kemungkinan akan dilakukan dari golongan manapun itu.

Saat ini kita dapat melihat perilaku korupsi ini bahkan dalam lingkungan sendiri, seperti keinginan untuk berbuat korupsi meskipun hanya pada jumlah yang sekecil-kecilnya, contohnya melakukan mark-up pada pembelian barang dengan merubah harganya secara eceran atau menaikkan harga dari fotokopi, bahkan sampai dalam jumlah yang relative besar, karena di dasarkan oleh caraa pandangan “Kalau rasanya enak, lakukanlah," "Ambil sesuatu yang orang lain juga lakukan, selama tanggung jawab itu dapat dilakukan," dan pada dasarnya mencerminkan tindakan pemuasan diri, penyelamatan diri. Pemuasan diri dan pemeliharaan diri adalah tindakan yang tidak bermoral. Korupsi sebagai suatu perbuatan asusila dalam hal ini dapat mengungkapkan kebenaran dari moral seseorang yang mendalam.

Makna legislasi antikorupsi sebagai hukum perilaku yang benar yang terdapat dalam benak manusia terungkap di sini. Perundang-undangan antikorupsi merupakan resep, yaitu pedoman ataupun rumusan yang mewajibkan manusia untuk berperilaku dengan cara yang telah ditentukan sebelumnya (Niasa, 2016). Dalam sekelompok orang, tindakan untuk bisa menyelamatkan diri maupun tindakan memuaskan diri sendiri adalah sebuah gejala yang tidak diinginkan. Walaupun perbuatan asusila untuk pemuasan diri atau pemeliharaan diri bisa terjadi dengan pemberian hukuman yang tidak jelas, namun hukum yang bersifat preskriptif tetaplah hukum karena ada hukum preskriptif yang menyatakan bahwa korupsi tidak diperbolehkan (Zaidan, 2019).

Hukum preskriptif, yang diartikan sebagai sebuah pedoman ataupun rumusan yang di dasarkan oleh tujuan serta keinginan empiris atau nyata, menyatakan sesungguhnya perilaku koruptif didefinisikan sebagai sikap yang bisa membahayakan kelangsungan hidup masyarakat (Kifli, 2022). Kegagalan untuk bisa mencapai tujuan yang tepat dari berbagai kegiatan yang sebelumnya telah dilalui yang mana pada awalnya bertujuan untuk menjamin kebersamaan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia kemudian dapat menjadi sebuah kegagalan apabila mereka yang diberi wewenang untuk mengawasi pemenuhan fungsi (Endrawati & Permatasari, 2019). Akibatnya, fungsi dari penegakan hukum yang menghilangkan perilaku koruptif yang bersumber dari konsep mencapai kemaslahatan manusia, yaitu kesejahteraan maupun kemaslahatan bersama, berkembang di dalam pikiran serta pikiran yang ada pada individu.

Oleh karena itu, apabila Komisi Pemberantasan Korupsi, serta kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan, gagal menghapus perilaku korupsi, bahkan jika terjadi pula kegagalan di tubuh pemerintahan, dalam hal ini yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta lembaga pemasyarakatan, gagal untuk membatasi perilaku narapidana koruptif (Muliyono & Marlina, 2022), ini menurut Hart, merupakan bentuk kegagalan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama bangsa dan rakyat Indonesia. Menurut Kant, kegagalan terjadi ketika prinsip-prinsip imperatif moral, yang merupakan prinsip moral tertinggi manusia, tidak terpenuhi. Karena definisi hukum dari tindakan yang adil, kegagalan tersebut menghalangi keadilan untuk dilayani (Gulo, 2019).

Kegagalan transformasi moral yang menolak perilaku koruptif dalam hukum, di sisi lain, adalah kegagalan untuk menempatkan diri untuk bisa mencapai tujuan kelangsungan hidup bersama (Fathya, 2018). Rumusan khusus dalam undang-undang khusus yang membuat koeksistensi tidak mungkin atau memungkinkan terjadinya penolakan pemeriksaan perilaku korupsi harus diabaikan berdasarkan sumber moral yang secara tegas menolak perilaku korupsi (Nansi, 2020). Pengabaian seperti itu tidak merusak supremasi hukum; melainkan menegakkan hukum dan moral untuk kelangsungan hidup bersama.

Korupsi, jika ditinjau melalui sudut pandang yang berbeda, tetap menjadi suatu perilaku yang tidak diinginkan. Dalam pengertiannya hukum tradisional tetap harus mengacu kepada prinsip-prinsip moral yang baik dengan implikasi secara empiris dalam arti keadilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun