Seperti sebuah tradisi dalam penggunaan media sosial Whatsapp atau WA, kabar beredar yang tak diketahui keasliannya dan tak bisa dipertanggungjawabkan selalu hadir.Â
Beberapa jam setelah diumumkannya pasien positif Covid-19 di Provinsi saya untuk kasus pertama, muncul notifikasi dari grup WA. Satu grup kecil beranggotakan tiga orang yang lama tidak aktif, kembali hidup.Â
Kali ini salah satu teman saya, membagikan sebuah gambar. Bukan gambar yang berisi informasi terkini masalah Covid-19 ataupun kesehatan lainnya, melainkan sebuah tafsiran.Â
Jika zaman dulu, Ibnu Katsir menafsirkan Al-Qur'an ataupun Socrates manafsirkan komunitas sosial, teman saya ini malah ikut menafsirkan tentang wabah Covid-19.Â
Layaknya seorang mufasir, gambar itu memuat penjelasan satu persatu huruf yang merangkai "Covid-19". Seperti, C untuk Cuci tangan dan seterusnya. Malah seperti sebuah adegan komedi jadinya (A!!! Anaknya suka nabung; sahut penonton, S!!!...).
Tak berselang lama, grup bapak-bapak komplek beserta istri di WA juga ikutan rame. Bahasannya sangatlah meyakinkan. Kali ini bersumber dari sebuah screenshot dari laman Facebook. Isinya juga begitu meyakinkan tentang penyemprotan racun Covid-19 yang akan dimulai dari jam 11 malam.Â
Oleh karena itu, alangkah bijaknya masyarakat setempat tidak keluar rumah pada jam yang ditentukan. Demi menyelematkan kehidupan galaksi ini, saya pun mesti crosscheck keabsahan informasi tadi.Â
Pada halaman informasi kemenkes pusat ataupun BNPB, tidak ada intruksi tersebut. Singkatnya, informasi seleweran dari Facebook tadi dipastikan hoax. Tapi sempat beredar beberapa jam. Menyedihkan.
Sudah berapa kali setidaknya saya menemukan informasi ataupun hal yang berkenaan dengan situasi sekarang yang ternyata tak dapat dibuktikan kebenarannya. Dua kasus diatas yang saya jabarkan hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus lainnya yang beredar di dunia maya.Â
Akses informasi yang tak terbatas, membuat siapapun berhak untuk "melegalkan" pikirannya. "kebohongan yang dikatakan terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran", pernyataan tersebut sepertinya sangat relevan kini.
Jika sebuah kebohongan yang terus dipublikasikan nantinya akan dianggap sebuah kebenaran, maka seharusnya ada tahapan yang dilalui oleh sang penafsir lebih dulu yang mana dalam hal ini yaitu orang yang menerima informasi.Â