Mohon tunggu...
Wahyu Sitepoe
Wahyu Sitepoe Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm a simple man

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar Filosofi "Nrimo" dari Masyarakat Jawa

23 Mei 2012   08:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:55 6287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Uripe ayem rumongso aman, dununge roso tondo yen iman, sabar nrimo najan pas-pasan, kabeh tinakdir saking Pangeran…

Sepenggal lirik puji-pujian tersebut terasa begitu syahdu terdengar di penghujung sore waktu itu. Suara merdu sang penandung yang dipertegas dengan alat pengeras suara masjid seakan mengajak setiap orang yang mendengarnya untuk berdamai dengan hati mereka. Betapa tidak kata-kata sederhana yang juga membentuk kalimat-kalimat sederhana terasa begitu sarat makna dan mengena.

Filosofi “nrimo ing pandum”  begitu kental terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, setidaknya itulah yang saya lihat selamat 4 tahun bergaul dan hidup bersama membaur bersama mereka selama menempuh study di Kampus Konservasi, Universitas Negeri Semarang. Perjalanan saya ke bebrapa daerah di Jawa Tengah dan pengalaman KKN di salah satu desa terpencil di Wonosobo semakin mempertegas  dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa berpegang teguh ada pedoman-pedoman hidup tidak tertulis dan kearifan lokal yang telah diwariskan para pendahulu. Nilai postif dari filosofi tersebut benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks filosofi lokal “nrimo ing pandum”, saya jarang mendengar keluhan ataupun sedu sedan meskipun kehidupan mereka sarat dengan kemiskinan dan kesusahan. Kesederhaanan cara hidup juga sangat terlihat meskipun sebenarnya ada sebagain masyarakat yang mampu mengikuti cara hidup orang-orang di kota, namun saya sama sekali tidak melihat hal-hal berbau keduniawian yang berlebihan yang dengan mudah kite temukan di kehidupan modern seperti sekarang ini.

Awalnya saya tak habis pikir bagaimana mungkin di jaman yang individualis dan segala sesuatu selalu dinilai dengan uang, masih saja ada orang yang dengan tulusnya mau menolong dan saling berbagi, masih saja ada orang yang mau mengabdikan dirinya di Kraton bekerja siang malam untuk Sang Raja, hanya dibayar seadanya dan jauh dari kata cukup. Perjalanan saya beberapa waktu yang lalu ke Keraton Jogja menunjukkan betapa setiap abdi dalem keraton begitu tulus dan bersungguh-sungguh dalam bekerja bahkan terlihat ada rona kebahagian di wajah-wajah mereka. Sekali lagi saya benar-benar tidak habis pikir.

Pernah suatu ketika saya benar-benar merasa menyesal karena telah menawar sepasang sepatu dengan harga yang terlalu murah di Pasar Johar Semarang. Pedagang baik hati tersebut adalah seorang bapak berusia senja yang dengan senang hati menerima penawaran saya. Awalnya saya merasa senang karena trik dengan mengatasnamakan mahasiswa yang uangnya pas-pasan dan masih dikirimi dari orang tua berhasil meluluhkan hati Pak Tua tersebut. Namun akhirnya saya merasa malu sendiri ketika Pak Tua tersebut mengatakan dapat memahami keadaan saya karena Pak Tua tersebut juga memiliki anak yang masih kuliah. Pak tua tersebut kemudian bercerita bagaimana hatinya merasa sangat sedih ketika tidak mampu memberi sangu yang pantas untuk menunjang kehidupan anaknya selama menempuh study. Bapak tersebut sadar bahwa uang yang dikirim setiap bulannya jauh dari kata cukup. Guratan di wajah bapak tersebut seolah mengatakan meskipun dia telah bekerja keras namun hasilnya selalu kurang untuk membiayai kuliah sang anak. Namun demikian Pak Tua itu tidak pernah mengeluh, meskipun hasilnya tak seberap bapak tersebut tetap setia dengan profesinya dan bekerja sepenuh hati menjual sepatu di salah satu sudut Pasar Johar Semarang. Saya benar-benar kagum dan merasa menyesal mendengar cerita bapak tersebut, meskipun  dalam keadaan sulit ,beliau masih saja mau berbagi kebaikan pada saya waktu itu. Bapak tersebut kemudian melanjutkan ceritanya betapa dia merasa “penerimaan”-nya akan garis kehidupan yang telah di tetapkan Sang Pencipta dan usahanya adalah sebagai bentuk kesyukuran atas segala "nikmat" yang ia dan keluarga peroleh selama ini. Kerja keras tersebut tidak sia-sia karena merasa Sang Khaliq telah membalas kerja kerasnya dengan prestasi-prestasi anaknya selama ini.

Berkaca pada sepenggal kisah kehidupan diatas, saya mengambil kesimpulan bahwa filosofi “nrimo ing pangdum” mengandung arti ”penerimaan” seseorang dengan ikhlas akan sesuatu hal. “Penerimaan” di sini menurut saya adalah bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib.  Apakah nanti hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang Pencipta. Filosofi ini menurut saya akan mengajarkan seseorang untuk dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Menurut saya, itu adalah simbol optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan.

Pengalaman hidup 4 tahun belakangan ini benar-benar telah merubah cara berfikir saya. Saya begitu banyak belajar tentang kehidupan dan cara dalam memandang kehidupan. Masyarakat Jawa dalam memandang filosofi nenek moyang mereka adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan sesuatu yang harus di internalisaikan ke dalam diri dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hipotesis saya selama ini yang menganggap uang dan materi adalah sumber kebahagian serta merta tertolak oleh filosofi tersebut. Kebahagian sejati adalah disaat uripe ayem rumongso aman karena penerimaan akan kehendak Illahi Robbi sebagai tanda Iman dan Keyakinan pada-Nya

Jadi teringat pesan terakhir Pak Tua penjual sepatu itu begitu mendamaikan dan menentramkan hati..”le…nrimo ing pandum, Rezeki sudah ada yang mengatur, Gusti Allah tidak pernah tidur, kalau kita mau pasti ada jalan, yang penting bukan apa yang kita kerjakan tapi niat kita bekerja adalah untuk bersyukur dan juga beribadah (dalam bahasa Jawa).



(Sebuah catatan dari hasil pengamatan dan pengalaman hidup di Semarang semasa menempuh studi di Universitas Negeri Semarang, 2007-2011)

Wahyu Sitepoe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun