Mohon tunggu...
Wahyu Awaludin
Wahyu Awaludin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

PPSDMS Angkt.V | co-admin @anakuidotcom | Ketua BEM FIB UI 2011 | Tim Ahli BEM FIB UI 2012 | Freelance Writer | Social Media Player | Pembelajar | A Dreamer

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Fenomena Generasi Digital Native

25 November 2009   15:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 2673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kolom Teknologi Informasi Zaman sekarang adalah era informasi, dan era informasi ini adalah era terevolusinya segala hal. Kita bisa melihat evolusi politik dari sistem konvensional menuju digital seperti kasus Obama. Kita bisa melihat evolusi pergaulan dengan contohnya Facebook dan twitter. Kita bisa melihat digitalisasi bisnis seperti pada kasus kompas.com, detik.com, dan lain-lain. Begitu pula dengan karakter. Karakter manusia pun mau tidak mau berubah. Mac Prensky membagi umat manusia menjadi 2, yakni generasi digital immigrant dan digital native. Digital native adalah kelompok yang saat mulai belajar menulis sudah mengenal internet atau yang saat ini berada di bawah 24 tahun. Sedangkan digital immigrant adalah generasi bapak kita yang mengenal dunia internet setelah mereka dewasa. Digital native memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dengan generasi sebelumnya, setidaknya dalam hal-hal berikut ini: Pertama, identitas. Digital native cenderung ribut soal identitas. Mereka begitu peduli dengan ke”ada”an diri mereka. Karena itulah mereka ramai-ramai membuat akun di Facebook, Twitter, Youtube, dan lain-lain untuk membuktikan kepada dunia bahwa mereka ada. Kenarsisan ini menjadi wajar karena mereka memang menemukan media yang bisa memuaskan hasrat mereka untuk eksis. Kedua, privasi. Generasi digital native cenderung lebih terbuka, blak-blakan, dan open minded. Jika mereka bilang suka, mereka bilang suka, dan jika tidak suka, mereka akan bilang tidak suka. Mereka juga merasa tidak masalah “membuka” apa yang disebut oleh generasi sebelum mereka sebagai privasi. Mereka malah berlomba-lomba membuka kehidupan privasi mereka di status Facebook dengan menulis “@ mall X bareng temen”, “sedih banget karena baru putus”, “mau tidur”, dan lain-lain. Ketiga, kontrol dan kebebasan. Generasi digital native gila kebebasan. Mereka tidak suka diatur dan dikekang. Mereka ingin memegang kontrol, dan internet menawarkan hal itu. Jika mereka tidak suka suatu website, mereka bisa menutupnya saat itu juga. Mereka juga bebas untuk menolak atau menerima permintaan pertemanan di Facebook. Sebaliknya, jika mereka mendukung sesuatu, mereka akan berbondong-bondong mendukungnya dengan fanatik seperti pada kasus Prita dan Bibit-Chandra. Jika ingin sukses berhubungan dengan generasi digital native, sederhana. Duduk bersama mereka, libatkan untuk berpartisipasi. Buat tujuan bersama-sama mereka dan minta saran kritik dari mereka. Biarkan mereka mengambil keputusan. Keempat, proses belajar. Generasi digital native mempunyai proses belajar yang sangat berbeda dibanding generasi digital immigrant. Generasi digital native jengah ketika disuruh membaca Encyclopedia Brittanica, tapi toh mereka tahu banyak hal. Hal ini bisa terjadi karena mereka selalu berpacaran dengan Google dan search engine lain. Kemampuan belajar mereka jauh lebih cepat karena segala informasi ada di ujung jari mereka. Dengan mengetahui kecenderungan beberapa karakter Generasi digital native, kita mungkin tidak akan heran lagi mengapa pertumbuhan Facebook, You Tube, dan Twitter begitu cepat sehingga terasa “mengerikan.” Karena di situs-situs itulah Generasi digital native menemukan diri mereka. Di sana mereka bisa narsis, eksis, dan menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga mempunyai kebebasan dan kontrol. Di sana mereka bisa berbagi notes Facebook, link bermutu di Twitter, ataupun video inspiratif di Youtube. Sementara situs-situs yang tidak menghidupkan karakter Generasi digital native akan habis digilas gelombang ini. Perhatikan dunia, buka mata buka telinga, karena seperti kata Hermawan Kertajaya, saat ini sesuatu yang disebut “normal” adalah justru “keabnormalan”. Fenomena ini bisa terjadi karena seluruh dunia sedang berubah dengan begitu cepat. Dinosaurus punah karena tak mampu beradaptasi dan jangan sampai hal itu terjadi pada diri kita. Pelajari fenomena-fenomena terbaru dan manfaatkanlah. So, selamat bergaul dengan generasi digital native! Sumber: Majalah Marketing, April 2009 http://zahidayat.com

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun