Kalau hidup adalah sebuah panggung sandiwara, kita semua pasti berperan dalam drama komedi yang tidak ada habisnya. Panggung ini dipenuhi aktor yang kadang lupa naskah, tetapi lihai mencari kambing hitam setiap kali rencana meleset. Di negeri kita, skenario yang disajikan seolah hanya menambah kesemrawutan.
Memasuki episode akhir masa jabatan Jokowi yang semakin dekat, semua masalah seolah meledak dalam satu panggung. Keresahan yang terpendam mulai muncul ke permukaan. Janji-janji yang belum terlunasi dan isu-isu yang tak kunjung terpecahkan menjadi bahan bakar bagi ketidakpuasan rakyat. Sementara itu, politisi sibuk dengan drama politik, seolah mereka adalah bintang utama di panggung ini.
Hukum Serapuh Ranting Kering
Mari kita mulai dengan hukum. Di sini, hukum lebih mirip aksesori: berkilau di atas kertas, tetapi fungsinya? Nol besar! Kita sering mendengar tentang kasus korupsi ratusan triliun rupiah yang mengguncang masyarakat. Tapi, pelakunya? Hanya dikenakan denda kecil, seolah tak lebih dari ongkos parkir. Dengan hukuman ringan seperti ini, bisa dipastikan para koruptor sedang merencanakan aksi berikutnya sambil tertawa.
Kita semua tahu tentang Toni Tamsil, sosok yang jadi sorotan karena dugaan korupsi hingga 300 triliun rupiah. Bayangkan, angka segitu bisa bikin kita berpikir, "Apa sih, ini negara?" Namun, alih-alih mendapat hukuman yang setimpal, Toni cuma dihadiahi denda lima ribu rupiah. Ya, lima ribu! Lebih murah dari ongkos parkir di minimarket.
Nah, setelah kejadian itu, situasi makin absurd. Manuver ekstrem mulai terlihat di dunia politik kita. Peraturan pencalonan pejabat pemerintah seakan bisa diobrak-abrik semudah membalik telapak tangan. Keluarga-keluarga tertentu seolah berkolaborasi dengan Mahkamah Konstitusi, menciptakan jalan tikus untuk memuluskan langkah mereka. Rasanya, kemanusiaan kita sudah mau meledak!Sementara kita, hanya bisa menggerutu sambil menikmati nasi bungkus seharga lima ribu, yang seolah bisa menebus dosa triliunan!
Negara yang Nuansanya Seperti Dimiliki Keluarga
Belum hilang rasa kesal kita, muncul episode baru: anak presiden yang nebeng jet pribadi. Ketika dirujak natizen si anak itu langsung morat-marit membuat sekenario, yang bikin kita melongo. Alibi nebeng, memenuhi KPK kayak berkunjung ke rumah paman, dan sebagainya sukses bikin rakyat berpikir kalau ini drama komedi apa lagi?
Nah, ternyata, hidup menumpang ini memang tradisi keluarga. Sang bapak juga pernah menumpang, meskipun bukan di jet, melainkan di partai politik. Sekarang partai tersebut sedang berjuang, sembari menyembuhkan luka yang penuh menghiasi tubuh banteng merah. Sang bapak yang dahulu berhasil mendarat dengan mulus di kursi presiden, kini menggunakan konsep numpang itu, terus pas kepentingannya udah selesai, partainya ditinggalkan. Di negeri ini, drama dan intrik seakan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Penghargaan Bagi Institusi yang Kurang Mewakili Rakyat
Lanjut ke fenomena lain yang tak kalah menarik: DPR dapat penghargaan! Penghargaan untuk apa, ya? Banyak dari kita pasti berpikir, "Apa yang mereka lakukan hingga pantas mendapat penghargaan?" Katanya, mereka sukses meningkatkan kinerja. Sementara itu, di tongkrongan, kita justru membahas betapa sulitnya hidup akibat kebijakan mereka.