Mohon tunggu...
Waatwahan Albert
Waatwahan Albert Mohon Tunggu... Aktivis Desa

opini kampung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PP PMKRI Desak Kementerian ESDM Usut Dugaan Penjualan 300.000 Ton Nikel Milik Negara

17 Februari 2025   17:59 Diperbarui: 17 Februari 2025   17:59 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto istimewa: Raymundus tolokPresidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI Periode 2024-2026

Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera mengambil langkah tegas terkait dugaan penjualan 300.000 ton bijih nikel yang sebelumnya disita untuk negara. Perusahaan tambang yang diduga melakukan penjualan tersebut adalah PT Wana Kencana Mineral (WKM).

Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, Raymundus Yoseph Megu, mengungkapkan bahwa dugaan ini bermula dari bijih nikel yang awalnya dimiliki oleh PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT). Namun, izin usaha pertambangan (IUP) PT KPT dicabut oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan dialihkan ke PT WKM. Konflik hukum antara kedua perusahaan ini berujung pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan PT WKM sebagai pemegang IUP yang sah.

"Namun demikian, status hukum bijih nikel yang telah disita negara masih menjadi tanda tanya besar dan perlu diklarifikasi oleh pihak berwenang," ujar Raymundus pada Sabtu (15/2).

Raymundus menjelaskan bahwa berdasarkan Laporan Hasil Verifikasi (LHV), pemerintah daerah diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp30 miliar akibat dugaan penjualan bijih nikel ini. Selain itu, PT WKM juga diduga belum memenuhi kewajibannya dalam menyetor dana jaminan reklamasi selama empat tahun (2018-2022). Dari total kewajiban sebesar Rp13,45 miliar, perusahaan ini baru menyetor Rp124 juta pada tahun 2018.

"Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait komitmen PT WKM dalam menjaga lingkungan pasca-penambangan," tegas Raymundus.

Menurutnya, kasus ini berkaitan erat dengan berbagai regulasi yang mengatur sektor pertambangan. Berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dikenakan pidana hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Sementara itu, Pasal 161 menegaskan bahwa pihak yang menampung atau menjual mineral ilegal juga dapat dipidana.

Selain itu, PP No. 96 Tahun 2021 dalam Pasal 107 menyatakan bahwa IUP yang dicabut tidak boleh digunakan untuk penjualan sebelum ada ketetapan baru dari pemerintah. Pasal 187 juga menyebutkan sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca-tambang. Sementara itu, Permen ESDM No. 26 Tahun 2018 dalam Pasal 63 mewajibkan setiap perusahaan tambang untuk menyediakan dan menyetor dana jaminan reklamasi sesuai ketentuan.

Menyambung pernyataan Raymundus, Ketua Lembaga ESDM PP PMKRI, Parlin Sihaloho, menegaskan perlunya tindakan konkret dari Kementerian ESDM.

"Kami meminta sikap tegas dari Kementerian ESDM untuk segera melakukan investigasi menyeluruh terkait kasus ini, memastikan transparansi dalam proses penyelidikan, dan memberikan sanksi tegas jika ditemukan pelanggaran," ujarnya.

"Kita tidak bisa lagi membiarkan kegiatan penambangan yang tidak bertanggung jawab dan tidak transparan merusak lingkungan serta mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal. Oleh karena itu, kami menuntut Kementerian ESDM untuk:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun