Mohon tunggu...
Wahid Nur
Wahid Nur Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Become

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Dr. Hj. Ema Marhumah, M. Pd Penceramah Tarawih di Masjid UIN Sunan Kalijaga (29/07)

31 Juli 2012   20:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:23 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13437678511201363723

Hari minggu kemarin (29/7) saya di undang buka bersama oleh teman-teman Marakomunity. Kebutulan sekali sebab diacara itu pula hadir teman-teman seangkatan saya, juga para senior-senior yang lebih dulu malang melintang berkecimpung di Marakomunity. Komunitas ini memang ada keterkaitan secara kultural dengan salah satu organisasi ekstra Mahasiswa. Dalam pertemuan itu karena lama tidak bertemu, masing-masing dari kita asik bercanda-bergurau, ngobrol kesana-kemari, mengenang masa lalu ataupun menceritakan kondisi sekarang dari masing-masing. Sembari menunggu berbuka, ceremony buber di buka oleh pimpinan Marakomunity, sekaligus juga menyampaikan sambutan, setelah itu salah satu dari senior juga menyampaikan beberapa patah kata, menceritakan kisah mereka dahulu, sebagai proses transformasi dan tentu saja sebagai wujud silaturahim dengan generasi sekarang.

Tak beberapa setelah sambutan, azan Mahrib berkumandang, menyudahi pembicaraan kita. Tanpa perlu menunggu instruksi, setelah membaca do’a berbuka puasa bersama-sama masing-masing dari kami pun lantas berbuka puasa dengan segelas air meniral, melahab hidangan dan setelah itu makan bersama. Selesai acara makan bersama, beberapa dari kami ada yang masih bercemkerama, ngobrol-ngobrol santai, sebagian lagi pulang. Ada juga yang masih bertahan ditempat sampai berkumandangnya azan Isya’.

Tempat acara buber berlokasi di Jalan Timoho, Jogja, cukup dekat dengan salah satu kampus yang ada di Jogja, yakni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Diantara kami, mengusulkan untuk melaksanakan sholat Isya’ dan terawih dilokasi yang sama. Barangakali usul itu diutarakan mengenang dahulu sewaktu mereka masih tinggal disana, sering melakukannya. Usul itu kemudian dijawab oleh pimpinan Marakomunity dengan tidak mengiyakannya, artinya sholat Isya’ dan terawih sebaiknya ke masjid saja, begitu katanya.

Mendengar jawaban itu sebagian kecil teman-teman, kanda-yunda yang hadir sekitar 25-an orang menanggapi dengan mengiyakannya, nderek apa kata pimpinan ke masjid kampus UIN Sunan Kalijaga. Sebagian besar, sekitar 17 orang tetap untuk melaksanakan dilokasi. Pimpinan sendiri pun tidak mempersoalkan hal ini, toh juga tidak begitu penting, terlebih lagi sebenarnya pimpinan tidak mau saja jadi imam sholat Isya’ dan terawih. Akhirnya yang setuju, berangkat bersama pimpinan, saya termasuk, ke masjid UIN Sunan Kalijaga dengan berjalan kaki.

[caption id="attachment_203921" align="alignnone" width="448" caption="Laboratorium Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga. www.uin-suka.ac.id"][/caption]

Struktur bangunan masjid di kampus UIN Sunan Kalijaga, sekilas saya melihatnya seperti aquarium bertingkat, bentuknya persegi panjang mengecil keatas, berbeda dengan struktur bangunan masjid Shuhada, masjid Gedhe Ngayogyokarto, masjid Jendral Sudirman ataupun masjid Kampus UGM, misalnya. Adalah gagasan Rektor UIN Sunan Kalijaga masa jabatan 2001-2010, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Intergrasi Interkoneksi yang menjadikan struktur bangunan masjid berfungsi bukan saja sebagai tempat ibadah namun juga sebagai Laboratorium Agama. Ini terlihat dari tugu bernama Laboratorium Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga, dibaliknya terukir syair-syair dari salah satu tokoh Walisongo, Sunan Kalijaga, kalau tidak salah berbahan baku tembaga.

Setelah selesai sholat Isya’, sebagaimana pada umumnya sebelum melaksanakan sholat terawih terlebih dahulu ada penyampaian ceramah. Dalam kesempatakan Minggu (29/7) yang bertindak sebagai pencemahan terawih adalah Dr. Hj. Ema Marhumah, M. Pd. Saya mengamati di majid-masjid lain, seperti yang tersebut diatas, baru kali ini saya dapati penceramah terawih adalah perempuan. Beliau tidak berdiri di mimbar depan para jamaah laki-laki, tetapi berada dilantai dua dihadapan para jamaah perempuan. Jamaah laki-laki hanya mendengar saja, tidak bisa melihat.

Barangakali penceramah terawih perempuan, hanya ada di masjid UIN Sunan Kalijaga saja, di masjid-masjid lain saya tidak menemui demikian. Baik di Masjid Shuhada, Masjid Gedhe Ngayogyokarto, Masjid Jendral Sudirman ataupun di Masjid Kampus UGM. Berbeda memang, namun barangkali inilah wadah persamaan baik laki-laki dan perempuan sebagai penceramah. Dalam konteks yang berbeda jauh, perempuan sebagai imam dalam sholat dilakukan oleh Dr. Amina Wadud Muhsin. Terjadi pada tahun 2005 itu, sontak memunculkan perdebatan dari banyak kalangan, terkait dengan posisinya dalam fiqih juga gerakan yang dilancarkannya, feminisme.

Dari sudut pandang Gender barangkali inilah adalah ruang, menghargai, memberi tempat, menghormati kedudukan laki-laki dan perempuan yang sama, kecuali ketaqwaan yang membedakan keduannya. Secara tradisi, berbeda, ada semacam arus baru dalam dimensi ritus keagamaan dimana perempuan tampil diharapan jamaah baik laki-laki maupun perempuan. Keterangan dari salah satu Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, anggota Marakomunity, bukan kali ini saja di Masjid UIN Sunan Kalijaga menghadirkan penceramah pada bulan Ramadan, tidak hanya laki-laki, dua tahun kebelakang juga sama, mungkin sebelumnya lagi juga pernah terjadi.

Dari ceramah yang beliau sampaikan, saya menangkap ulasan mengenai pentingnya puasa itu, sebagaimana yang sudah-sudah dilaksanakan sebelum umat Nabi Muhammad SAW. Bagaimana puasanya orang-orang besar (Nabi) dahulu, “Maryam yang melahirkan Nabi Isa a.s, Nabi Daud a.s sehari puasa sehari tidak, Nabi Musa yang melawan ketuhanan Fir’aun, dan Nabi Muhammad SAW yang sekarang kita laksanakan.” Di bulan Ramadan ini, beliau juga menyoroti tentang meningkatnya “religiusitas keagamaan” umat Muslim, disamping permasalahan sosial yang terus juga meningkat, nahi nungkar, tentang keadaan zaman sekarang ini, “arus modernitas”, “kapitalisme”, yang berdampak pada kehidupan, dan lain sebagainya. Kesimpulan yang saya dapat pahami dari ceramah beliau adalah bagaimana puasa ini agar benar-benar menjadi orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana dalam QS. Al-Baqaroh 183.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun