Mohon tunggu...
Wahid Nur
Wahid Nur Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Become

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pertapaan Rawaseneng: “Terpisah dari Dunia, Tetapi Tidak Sendirian”

22 Desember 2014   21:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:42 3386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desember ini, kami berkesempatan berkunjung ke Pertapaan Santa Maria Rawaseneng-Temanggung, bukan untuk melihat bagaimana persiapan Natal yang sebentar lagi datang, tapi untuk melihat bagaimana kehidupan para rahib disana.

Ora et Labora: Berdo’a dan Bekerja. Begitulah yang terpatri kuat dan yang dijalankan oleh para pertapa (rahib) di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng, 14 Km dari kota Temanggung, Jawa Tengah. Tepatnya tanggal 13 Desember kamarin, kami satu rombongan (15 orang) berkunjung kesana. Kami kesana, untuk menengok langsung bagaimana kehidupan para rahib yang berjumlah 35 orang itu, dalam kesehariannya. Yogyakarta-Temanggung, 2 jam labih kami tempuh. Melewati jalan yang tak terlalu berliku tajam, tapi naik-turun menelusuri kawasan dekat pegunungan di Temanggung dengan pemandangannya, akhirnya kami sampai juga. Kami disambut dengan hawa sejuk dan suasana yang terasa damai Rawaseneng. Meski ketika datang, waktu menunjukkan pukul sekitar 11.35 WIB siang yang cerah, bersamaan waktu Dzuhur datang, hawa dan suasana itu tak pergi kemana.

Sebelum menuju ke Rawaseneng, kami dihampirkan lebih dulu ke Gereja St. Petrus & Paulus Temanggung. Bila menengok peristiwa lampau, 08 Februari 2011, Gereja di Jl. Jendral Sudirman yang kita hampiri inilah, dulu, yang di rusak oleh massa, buntut dari persidangan kasus “Antonius Richmond Bawengan, seorang Kristen Protestan yang didakwa melakukan penodaan agama”, seperti yang diberitakan banyak media.

[caption id="attachment_385001" align="alignnone" width="300" caption="doc. SARK 2014. Gereja St. Petrus & Paulus Temanggung"][/caption]

Setelah mobil yang kami kendarai terparkir, kami turun dan disambut Romo San. Setelah itu kami dipersilahkan masuk ke ruang yang telah disediakan. Kursi berjajar rapi, sudah pula tersaji jajanan pasar, buah dan minuman gelas diatas meja. “Monggo-monggo, minum-minum dulu”, begitu Romo San mempersilahkan kami duduk, serta mempersilahkan kami pula untuk menikmati makanan dan minum yang telah disediakan. Memang, “hidup itu cuma mampir ngombe, jugamakan.

Kami [yang gumunan] juga dipersilahkan untuk melihat-lihat ke dalam Gereja. “Mau lihat-lihat ke dalam [Gereja], silahkan! bebas disini.” Sudah kalau Romo San berkata begitu, satu dua dan seterusnya dari kami bergeras masuk semua ke dalam Gereja. Ornamen-ornamen di dalam Gereja, cukup banyak yang kami perlu tahu. Tapi tak banyak yang kami tanyakan ke Romo San. Lebih banyak malah manggut-manggut sendiri, sambil nunjuk-nunjuk kesana-kemari, seolah ngerti dari sananya. Ya, paling tidak, ini jadi sebuah pengalaman, menengok langsung tempat ibadah umat Katolik, duduk-duduk, memperhatikan sekeliling yang ada, dan seperti jadi latah, kalau kamera yang ditenteng, sayang jika tidak di tekan, klik! [alih-alih sekedar untuk dokumentasi, padahal narsis juga tuh].

Setelah dirasa cukup makan dan minum, melihat-lihat Gereja St. Petrus & Paulus Temanggung, dan sebentar pula percakapan diantara kami berlangsung, perjalanan kami lanjutkan ke Rawaseneng. Sekitar 20 menit lebih, kami tiba dipelataran parkir Rawaseneng, yang bersebelahan dengan Museum merangkap sebagai toko yang salah satunya menjual hasil dari kebun kopi dan dari peternakan sapi berupa susu, kue dan roti.

14192304461959700031
14192304461959700031
doc. SARK 2014. Lapangan parkir & Museum

Lalu, kami berjalan kaki turun ke bawah, menuju lokasi Pertapaan. Kami sudah disambut oleh salah seorang disana. “Selamat datang... mari... mari, silahkan... ”, katanya. Kami, lagi-lagi dipersilahkan masuk ke ruang makan. Mau membuat kopi atawa teh, disilahkan sedu sendiri-sendiri sesuai selera. Roti hasil tangan para rahib pun terhidang disana. “Silahkan dinikmati... seadanya”, kata bapak yang menyajikan makanan untuk kami itu.

14192305421431438517
14192305421431438517
doc. SARK 2014. Menuju ke Pertapaan

14192307419533663
14192307419533663
doc. SARK 2014. Tampak atap Gereja Santa Maria Rawaseneng

Lokasi Pertapaan Rawaseneng jangan dibayangkan berada dalam Goa, atau tempat yang dianggap mistis lainnya, tidak. Malah tidak ada itu Goa disana. Bangunan yang ada seperti bangunan Gereja pada umumnya, wisma-wisma, ruang makan, ruang pertemuan, kapel, yang berdinding tembok dan beratap genting. Dikatakan “Pertapaan” Rawaseneng karena disana tempat Ordo CisterciensisStrictioris Observantie (OCSO), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Ordo Cisterciensis Observansi Ketat, atau bisa disapa tempat bagi Ordo Trappist hidup, dengan menjalani kehidupan monastik (kerahiban).

Selesai urusan di ruang makan, datang “Rahib kecil” Antonius. “Selamat Datang... Selamat Datang... ”, ucapnya, sambil mengulurkan tangan dan berjabatan tangan kami satu persatu dengannya. Fr. Antonius Anjar Daniadi, OCSO (Ordo Cisterciensis Strictioris Observantie)nama lengkapnya, adalah salah satu rahib disana. Ia sudah hidup di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng sejak tahun 2003 lalu. Dari pakaian yang ia kenakan, sudah mengundang tanya. Sambil menyilahkan kami untuk mengikutinya, berjalan melewati teras samping Gereja St. Maria, yang disebelah kanan pintu masuk Gereja ada taman kecil, berdiri patung St. Benedict, kami terus berjalan menuju ruang pertemuan bagi para tamu yang berkunjung kesana. Dan semacam “presentasi” berlangsung di ruang pertemuan itu. Dengan pembawaan santai lagi ramah, Fr. Antonius menjelaskan kepada kami yang Muslim seputar Pertapaan Santai Maria Rawaseneng:

Cikal-bakal Pertapaan Rawaseneng dimulai pada tahun 1936, dengan berdirinya Sekolah Pertanianyang dikelola para bruder Budi Mulia. Namun, pada tahun 1948, sekolah itu dibumihanguskan karena perang. Tahun 1950, Rm. Bavo van der Ham, dari biara Koningshoeven-Tilburg, Belanda, memulai proses awal fundasi. Baru pada tanggal 1 April 1953, kehidupan Pertapaan Trappist Rawaseneng resmi dimulai.

14192326001214600532
14192326001214600532
doc. Pertapaan Rawaseneng. Empat Pendiri: Rm. Balduinus, Rm. Silvester, Rm. Nikasius dan Fr. Maurus

Cita-cita kontemplatif [kami] : mencari Allah dalam “kerasulan tersembunyi”, hidup dalam persaudaraan, askesis (matiraga) monastik, berdoa tanpa kunjung henti (ofisi & pribadi), kerja tangan.

1419230948716352981
1419230948716352981
doc. SARK 2014. Waktu di ruang pertemuan

Begitu sekilas Slide Show paparan dari Fr. Antonius. Kehidupan para rahib disana memang hanya berkutat pada dua hal saja: Berdo’a dan Bekerja. Untuk berdo’a berlangsung selama 7 kali tiap harinya, mulai dari Ibadat Biasa pukul 03:30 pagi dini hari sampai Ibadah Penutup pukul 19:45 malam. Ini semua dilangsungkan “untuk menjaga ingatan Kami [para rahib] kepada Allah”, kata Fr. Antonius yang sudah menempuh Kaul Pertamanya tahun 2006 itu. Sedangkan waktu bekerja, dilakukan diluar jam ibadat, menjelang siang dan menjelang sore. Kerja tangan para Rahib disini bukan dalam arti untuk mendatangkan dan mendapatkan profit, bukan, bukan untuk maksud itu, tapi semata-mata guna memenuhi kebutuhan hidup para Rahib yang hidup “terpisah dari luar” itu, jadi apa-apa harus mereka penuhi sendiri, secara mandiri. Dengan kerja tangan untuk menafkahi sendiri hidup para rahib, yaitu dengan mengelola peternakan sapi dan perkebunan kopi. Dengan adanya ternak sapi dan kebun kopi ini, Pertapaan Rawaseneng secara langsung berkontribusi bagi masyarakat sekitar, berupa lapangan pekerjaan dari adanya kebun kopi dan ternak sapi, dan hasil yang diperolah dari peternakan sapi dan perkebunan kopi pun juga dibagikan ke masyarakat.

Kehidupan para rahib yang “terpisah dari luar” itu maksudnya: hidup jauh dari keramaian, dan sekaligus juga membatasi komunikasi dari kehidupan luar. Semangat kerahiban demi memberikan kesaksian hidup seumur hidup, para rahib lakoni dengan laku kontemplatif, dalam kesunyian; dengan laku tapa (matiraga), dan terus selalu berdo’a tanpa kunjung henti dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pertapaan Sawaneng ini juga tidak punya karya, dalam arti, tidak memiliki fasilitas kesehatan ataupun pendidikan. Hubungan dengan yang lain mereka batasi, atau tahu dimana batasnya. Selain itu, Pertapaan Sawaneng juga tidak melayani umat. Jadi, hanya 35 Rahib itu saja yang hidup disana, mereka bersama sebagai sebuah keluarga. Meskipun demikian, mereka tidak menutup diri, tetap terbuka untuk umum, seperti saat kami ini yang Muslim berkunjung kesana. “Mandiri, tahu batas, bersama sebagai sebuah kelurga, selalu menjaga akan Allah dan terus mendekatkan diri kepada Allah”, inilah itu keadaan dalam praktiknya laku hidup para rahib.

Kami hidup bersama sebagai keluarga, dipimpin seorang Bapa Rohani (yang disebut “Abas”: Rm. Frans HarjawiyataOCSO Abas Pertama1978, Rm. Aloysius Gonzaga OCSO Abas Kedua 2006-kini).Meski “meninggalkan dunia”, rahib tidak sendiri. Kami berjalan bersama, berdoa, bekerja, belajar, dan bertobat bersama. Karena melalui PENGALAMAN hidup bersama, kami belajar untuk mencintai dan hidup sebagai rahib sejati... Meski terpisah dari dunia,kami tetap PEDULI dan PEKA terhadap situasi umat manusia padaumumnya... Hidup sederhana dengan cara yang serba biasa, para rahib memilih sebuah jalan hidup yang diatur oleh Peraturan Santo Benediktus.

14192311072048298361
14192311072048298361
doc. SARK 2014. St. Benedict

Ya, cara hidup para rahib di Pertapaan Rawaseneng, seperti yang tampil (Slide Show) diatas barusan, merujuk pada tokoh yang disebut terakhir: St. Benedict (480-547). Benedict yang hidup di Italia abad ke-5 itu, dari sepenggal sejarahnya: meninggalkan pendidikannya di Roma, kemudian menjalani laku hidup dalam tradisi kehidupan monastik dan yang seterusnya menjadi landasan tata kehidupan Ordo Trappist. Secara visual, oleh Fr. Antonius, kami diputarkan film yang berjudul Of Gods and Men. “Film ini, cukup memberi contoh gambaran kehidupan para rahib Ordo Trappist”, lanjut kata rahib yang telah Kaul Agung pada akhir tahun 2009 lalu itu. Dari film itu digambarkan bagaimana Orde Trappist hidup dalam balutan tradisi kehidupan monastik (kerahiban), dan bagaimana Orde Trappist juga menekankan kerja tangan. Meski hidup terpisah dari dunia nan gemerlap diluar sana, mereka tetap berinteraksi dengan sesama. Dari sisi kekhasannya, menurut Jean Leclercq, OSB, Kekhasan Teologi Monastik itu:

1. Rendah hati dan sederhana dalam berpikir 2. Berprinsip credo ut experiar (percaya supaya dapat mengalami) 3. Fokus pada learning by heart.

Sampai akhir di ruang pertemuan itu, Fr. Antonius kemudian mengiyakan keinginan kami untuk melihat-lihat kompleks Pertapaan dengan luas tanah 178 ha (milik pemerintah). Dipandu sang rahib, kami diajak-ajaknya jalan-jalan, mulai dari wisma-wisma yang ada bagi tamu untuk menginap, melewati selasar-selasar kamar-kamar, kapel, sejenak photo dibawah patung Yesus Kristus yang ada dibelakang halaman wisma, lanjut menuju ke dalam Gereja St. Maria, sampai kami dibawa turun ke kandang sapi yang mampu menghasilkan 400-500 liter/hari itu, lalu ke tempat peristirahatan kubur para rahib dan berakhir naik lagi ke lapangan parkir depan museum tempat mobil kami terparkir.

14192313082133247627
14192313082133247627
doc. SARK 2014. Gereja St. Maria

1419231519242702537
1419231519242702537
doc. SARK 2014.

141923213746104628
141923213746104628
doc. SARK 2014. Kandang Sapi

Tak lama setelah melihat-lihat dalam Museum, kami pun berpamitan, “Terima kasih Frater... , sudah menyambut kunjungan kami... memberi banyak penjelasan dari awal sampai mengantarkan kami sampai kemari...., dan mohon maaf sudah merepotkan”, kata salah seorang dari kami mengakhiri kunjungan di Pertapaan Rawaseneng. “Ya sama-sama..., kami senang... bila ada yang berkunjung ke Pertapaan kami..”, Frater Antonius menjawab dengan senyum ramahnya. “Sekali lagi terima kasih banyak Frater...”, “Ya sama-sama..., terima kasih” kami dan Frater saling bersahutan. Kami pungkasi dengan berjabat-tangan, bersalaman, pamit, terus melanjutkan perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun