Mohon tunggu...
willy journal
willy journal Mohon Tunggu... -

Menyajikan realitas apa-adanya, dan semoga saja bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jambi hari ini

23 Mei 2011   18:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:18 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Apa sebenarnya yang harus didahulukan ketika orang dihadapkan dengan realitas antara kebutuhan, moral dan idealism?, Secara psikologis sulit untuk memilih, secara ideologi terkadang berbenturan, seperti tak ubahnya ketika seseorang dihadapkan dengan kenyataan, bahwa bencana alam dan kematian hanyalah keputusan Tuhan, sesuatu yang harus diterima dan tak bisa dibantah.

Lantas, bagaimana menyikapi fenomena alam sekarang ini? Apakah anda merasakan, Iklim yang tidak menentu, suhu yang semakin tinggi, tiba-tiba saja hujan dan angin kencang, gempa, tsunami, banjir, dan kebakaran berkepanjangan. Lalu terbersit pertanyaan, siapa yang mentolelir kenyataan-kenyataan pahit ini? Kita?, Mungkin.

Kejadian-kejadian aneh yang jelas-jelas tidak di inginkan itu katanya akumulasi dari sebuah intensitas pemanfaatan sumber daya alam yang laten. Usaha-usaha dibidang Migas, Batu bara, dan pengembangan perkebunan serta perluasan hutan tanaman industry, indikator riil dalam berubahnya permukaan bumi, menambah keyakinan kita bahwa disela-sela itu terjadi system pengelolaan limbah yang diragukan, saya, anda, dan kita hanyalah manusia yang secara defacto sebagai pemakai sumberdaya alam dan kemudian terjebak dalam pasar ketergantungan, lalu terlena dengan laju perubahan mengiurkan yang disebut modrenisasi.

Apanya yang aneh?, Bukankah ini tuntutan skenario yang disebut perubahan?, Terima dong apa adanya, seperti kita yang mau tidak mau menghadapi sebuah kematian, cuma itu konsekuensinya, jalani dan hadapi sajalah!.

Tentu saja, karena mau lari dan sembunyi kemana, bumi cuma sebiji, kecuali ada bumi cadangan, atau bumi baru yang sedang dibuat oleh Tuhanku.

Saya bagian dari keluarga kecil di bumi ini, kebetulan lahir dan besar di Jambi, punya satu istri dan dua orang anak. Dikamar kami ada dua buah kipas angin, satu letaknya diatap kamar, satu lagi di dinding sebelah kanan, setiap anak-anak mau tidur harus menghidupkan kipas angin yang diatas, karena tendangan anginnya lebih kuat dari yang di dinding, ketika anak sudah tidur baru diganti dengan kipas angin yang melekat di dinding, karena anginnya lebih sepoi-sepoi, dan baru bisa benar-benar mematikan kipas angin disaat mati lampu atau waktu sudah menunjukkan pukul 12.00-01.00 Wib dini hari, begitulah menyiasati hidup atas masalah suhu di tengah kota Jambi saat ini, setiap hari, sulit membayangkan bagaimana suhu Jambi ketika anak-anak ini besar nanti.

Kenyataan yang saya alami ini juga dirasakan oleh para tetangga dan kerabat, bahkan tak jarang ketika tetangga main kerumah hanya ingin melihat dan membicarakan soal kipas angin, mulai dari harga, model dan toko penjualnya, ujug-ujug berubah menjadi gosip harian, jika mendengar anak tetangga menangis, asumsinya ga jauh-jauh, pasti kipas anginnya rusak, kurang bagus, dan sesekali terdengar teriakan dari sebelah “beli kipas angin woi, kepanasan budak tu”!.

Badan meteorologi yang biasa disingkat BMKG ini mencatat, pada tanggal 11 Mei 2011, Jambi masuk kota terpanas ke tiga Se-Indonesia, dengan suhu mencapai 35 derajat celcius, menurut BMKG ini belum tergolong ekstrim, karena suhu terpanas di dunia saat ini mencapai 46 derajat celcius, saya dan kerabat di Jambi tentu saja menyumpah, suhu 35 derajat saja sudah dua kipas angin dan malas keluar rumah, apa yang terjadi jika suhu diatas itu?  “Halah, bukankah ada AC/Air Conditioner, tinggal beli bae kok, bereskan? lagian tiap saat nongol di layar TV iklan macam-macam AC, hargo sudah lumayan murah dan Wattnya relative mengecil, biso kredit pulak”. Begitu sentilan si Andi tetangga sebelah. Dalam hati saya bergumam, “Dasar dunia modern, pintar mengemas kebutuhan”. Tapi saya tetap saja belum membeli AC, bukannya tidak mau, tapi masih banyak kebutuhan yang lain, atau setidaknya kipas angin dirumah masih normal, ini alasan gamblang untuk menutupi tipisnya soal keuangan.

Potret yang saya alami kalau mau jujur tentulah dirasakan pula oleh sebahagian besar keluarga-keluarga yang ada di Jambi, entahlah didaerah yang lain. Kami kebanyakan menyiasati hidup dengan layanan modrenisasi, kenapa harus repot mikir-mikir tentang Global Warming, lubang ozon yang terus membesar, atau sekalipun kiamat sudah dekat, karena memang sehari-hari mulai di televisi hingga koran mingguan menyodorkan layanan tentang modrenitas, “Dak perlulah berkeluh kesah kepanasan, karena ado kipas angin dan AC, Dak perlulah percaya soal kiamat karena itu urusan Tuhan, Ngapoin repot-repot mikir asap, toh disekitar kito (tiap detik) ribuan orang membeli asap, Ngapoin sibuk-sibuk memperhatikan sampah, kan ado mas Tukiran petugas kebersihan, Ngapoin repot-repot ngurusin Hutan, kan sudah ada dinas Kehutanan, Lagian kito masyarakat kota, najis ngomogin Hutan, kagek dibilang kampungan, Kubu. Mending ngomongin sinetron Citra Fitri lanjutannyo kayak mano, atau Polisi ternyata sudah pandai Nari, Rokok merek baru kemarin rasonya gimano, dan henpon si Dirman itu bagus nian, layar galo (semua). Jadi, hidup ni harus terus bertahan dan berjalan, buatlah senikmat mungkin, Titik”. Begitu omelan si Ramlan sobatku si tukang ojek, dipangkalan.

“Begitulah, ya begitulah, bisikan antara hati dan pikiran, begitulah kebutuhan dan idealisme berkembang, sulit menempatkan mana yang benar dan salah, karena semua bisa disiasati, walaupun keadaan hari ini tidak terlepas dari intervensi yang dikemas dengan penuh aturan, ternyata Negara masih naïf dan tetap mendahulukan keuntungannya, apa mau dikata, ketika Go to Nature menjadi slogan kosong bagi penganut modrenisasi, sekalipun larangan merokok sudah melekat dibungkusnya dengan size besar yang di bold, disisi yang lain tumbuh subur iklannya pada banner raksasa disetiap simpang, di TV dan Koran. Malah menjadi sponsor tunggal dalam sebuah pentas dangdut ‘artis Belah Duren’, menyenangkan dak? Coba kalau dakdo rokok, mimpi Kau bisa nengok gratis pementasan Julia Verez”.  Singgung bang Ucok yang sedari awal mendengar obrolan kami.

“Biarlah, setidaknya keinginan untuk memperbaiki keadaan itu ada, tumbuh dan berkembang  ditengah kekinian, toh alam raya bukan tong kosong yang berperan tunggal sebagai penampungan, tapi terus mengingatkan kita, bahwa melawan-Nya bukanlahlah ukuran, kecuali selalu siap menyiasati antara kebutuhan, moral dan idealisme, atau oportunis, paling kita-kita ini semakin kerap mendengar teriakan ‘panas nian woy’, dan lama kelamaan nantinya pasti terbiasa”. Bisikan hatiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun