Keputusan membeli rumah buat saya yang tergolong nomaden, tidak datang begitu saja. Saya menikmati hidup nomaden saya, dan saya masih bisa pulang ke rumah orang tua saya dengan bebas kapan saja saya mau.
Kehidupan seperti itu membuat saya berpikir, buat apa punya rumah? Toh saya juga sering pergi-pergi dalam waktu cukup lama.Â
Jangan-jangan rumah itu pun nantinya akan sangat jarang ditempati, sementara biaya bulanannya untuk listrik, air, dan biaya rutin lainnya tetap harus dibayar.
Namun di satu sisi, saya butuh tempat tinggal di kota persinggahan, yaitu Jakarta. Dan ada kemungkinan saya kembali ke kota itu. Di saat itu, apa saya mau ngekost lagi? Sementara menurut beberapa teman yang saya tanya, uang kost di Jakarta sudah naik berlipat-lipat.
Lagipula, namanya kost, sebesar-besarnya kamar yang disewa, pasti hanya sebesar itu saja. Kalau keluarga dari luar kota datang, gak bisa singgah untuk istirahat sebentar saja.
Alasan lainnya, memangnya mau sampai kapan hidup nomaden berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain? Pasti ada satu titik di mana ada rasa jenuh dan kemudian harus berhenti dan diam di satu tempat.
Toh rumahnya juga bisa disewakan selagi tidak dipakai.Â
Alasan lain, itung-itung nabung. Daripada gak jelas kemana perginya hasil kerja bertahun-tahun. Masa cuma efek kerja kerasnya saja yang kelihatan, seperti misalnya rambut rontok, kerut-merut di wajah, overweight gara-gara gak sempat olahraga akibat lembur melulu kejar target.
Hasil kerjanya? Masa menguap begitu saja?!
