Antara HRD dan user yang membutuhkan tenaga kerja, saya rasa memiliki pandangan yang berbeda. Namun, seharusnya kedua pihak ini saling melengkapi.
HRD tidak mengetahui dengan pasti skill apa yang dibutuhkan user, sehingga mereka akan meminta spesifikasi pekerja yang dibutuhkan user, ketika ada permintaan human resource (pekerja). Sementara user, mereka tahu skill/tenaga kerja yang mereka butuhkan, tetapi mungkin mereka tidak terlalu mahir atau tidak ada waktu untuk menilai karakter tenaga kerja.
Antara skill/keterampilan dan karakter adalah sesuatu yang berbeda. Ada yang menilai bahwa skill dapat dibentuk sementara karakter tidak dapat diubah atau sulit diubah. Namun, kenyataanya kemungkinan salah menilai pun bisa terjadi.
Ada saat user membutuhkan tenaga kerja sesuai skill yang mereka butuhkan dengan cepat, sehingga mereka tidak peduli dengan karakter. Di sini nampaknya HR akan mengalah. Bisa jadi, alasannya asal ada dulu. Mungkin itu sebabnya ada istilah, calon pekerja yang terpilih adalah yang terbaik diantara yang terburuk.
Sebenarnya, bekerja itu sama-sama butuh, baik dari sisi pekerja maupun user yang menggunakan jasa pekerja. Bukan cuma pekerja yang butuh uang untuk kelangsungan hidup. Tetapi user pun membutuhkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Jadi, menurut saya, kalau seorang calon pekerja tidak berhasil dalam proses perekrutan, saya rasa itulah yang terbaik. Karena mungkin karakter dan skill tidak sesuai. Daripada diterima dengan terpaksa, tetapi tidak diberikan pekerjaan yang sesuai, diperlakukan dengan tidak semestinya. Entah itu dicuekin atau dianggap cuma pajangan. Hal ini juga bisa terjadi pada karyawan "titipan".
Dari sisi pekerja, menurut saya kondisi seperti itu hanya buang-buang waktu. Kecuali orangnya bisa menunjukan dan mencari kesempatan untuk unjuk gigi, menyadarkan orang sekeliling tentang kemampuannya yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Dari sisi pekerja, seringkali HR terlihat sebagai pihak yang bertugas memberikan peringatan kepada karyawan, termasuk melakukan pemecatan, dan mengurus pemutusan kontrak. Selain itu, mereka juga mengurus administrasi kenaikan pangkat, itung-itungan cuti, dll. Itu adalah beberapa hal yang biasanya "terlihat dan terasakan" oleh pekerja.
Dalam hal pemutusan kontrak, apalagi kalau pemutusannya gara-gara sesuatu yang tidak mengenakan, biasanya sudah ada tanda-tanda dari user. Biasanya mereka sudah bicara dulu dengan pekerja, baru kemudian urusan administrasinya diurus oleh HRD. Dalam hal ini, terkesan tidak ada usaha HR untuk menengahi, dan rasanya jarang pekerja datang ke HR untuk mencari solusi yang lebih baik. Seolah, HR hanya menjadi wakil user untuk mengurus administrasi PHK.
Tetapi, kalau user masih butuh, sekalipun pekerja melakukan sesuatu yang dianggap sebuah pelanggaran oleh HRD, biasanya user akan mempertahankan pekerja. Jika mau professional, dalam hal ini seharusnya kedua belah pihak, yaitu user dan HR, mengacu pada peraturan yang harus dipatuhi bersama.