Paskah, hari kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, adalah sebuah bukti pengharapan. Kematian bukanlah akhir dari segalanya. Tetapi justru awal dari hari yang baru.
Mungkin itulah sebabnya, paskah seringkali ditandai dengan telur paskah. Permainan mencari telur paskah untuk anak-anak, lomba menghias telur paskah, pembagian telur paskah, dll.
Karena telur melambangkan kehidupan yang baru, yang akan muncul.
Dengan kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus, kita berdamai dengan masa lalu. Berdamai dalam arti bukan melupakan begitu saja. Tetapi berusaha menjadi lebih baik, berusaha tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sengaja atau tidak sengaja dibuat di masa lalu. Menerima, bertanggung jawab atas segala akibat dari sesuatu yang terjadi di masa lalu. Juga mendapat pemahaman yang baru tentang sesuatu hal sehingga lebih bijaksana menghadapi masa depan.
Berdamai dengan sesuatu mungkin tidak akan mengembalikan apa yang salah di masa lalu menjadi kembali seperti semula. Ibarat piring yang pecah, tidak mungkin piring itu kembali utuh. Tetapi kenyataan bahwa piring itu sudah pecah, dapat diterima dengan lapang dada. Tidak lagi mengingat-ingat dan menyesali mengapa sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Termasuk juga, berdamai dengan diri sendiri. Ada hal-hal yang sanggup kita lakukan ada yang tidak. Ada yang bisa diperbaiki, ada yang harus diterima saja begitu adanya. Memaafkan diri sendiri atas ketidak mampuan akan sesuatu, dan mengakui kekurangan diri.
Manusia lama di dalam diri kita sudah mati, dengan kebangkitan Yesus Kristus ada pengharapan baru akan kehidupan yang baru.
Satu hal yang saya dapatkan dari peringatan paskah, mulai dari masa Prapaskah yang diawali dengan hari Rabu Abu, masa puasa, Tri Hari Suci, hingga perayaan paskahnya sendiri adalah kesadaran bahwa semakin tinggi dipandang orang, maka kita harus semakin merendah. Itulah kesederhanaan yang membebaskan.
Bebas dari kewajiban-kewajiban menjadi seperti yang dibayangkan dan diinginkan orang lain. Bebas untuk menjadi diri sendiri. Bebas untuk memilih dan memutuskan sikap hidup yang paling sesuai dengan hati nurani. Tidak dikendalikan oleh rasa tidak enak pada orang lain, lingkungan, dan budaya.Â
Teladan itu juga yang saya lihat dari Alm. Bapa Paus yang baru saja meninggal dunia. Jabatan sebagai seorang kepala negara dan pemimpin umat Katolik sedunia, tidak membuat dia sok sibuk, sok tegas, atau menjaga jarak antara rakyat biasa dengan seorang kepala negara dan pemimpin dunia.