Terkadang sulit mengungkapkan isi pikiran secara lisan, tetapi lebih mudah dengan menulis. Benarkah begitu?
Untuk beberapa orang mungkin benar. Menulis memberi waktu pada otak untuk berpikir lebih lama tentang sesuatu. Apalagi kalau menulisnya tanpa mengejar waktu.
Hasil tulisan bisa dibaca berulang-ulang untuk meyakinkan bahwa apa yang ditulis sudah sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Tentunya penguasaan tema juga berpengaruh. Karena jika hanya tahu tetapi tidak ada pengalaman terkait tema, tentu lebih sulit mengungkapkannya.
Ada ungkapan yang pernah saya baca entah di mana, dan saya percaya benar adanya. Kira-kira begini katanya:Â
Jika seseorang benar-benar menguasai sesuatu pengetahuan, maka orang itu akan dapat menjelaskannya kembali dalam bahasa yang sederhana.
Berbicara secara lisan juga seharusnya sama dengan menulis. Tetapi mengapa seringkali output yang keluar dari mulut kita tidak sesuai dengan apa yang ingin kita bicarakan, padahal sudah ada dalam pikiran kita?
Saya mengenal seseorang yang senang bicara dan senang tampil. Dia mungkin selalu berusaha menjadi orang pertama yang berbicara, ketika ada kesempatan. Sayangnya, sering kali dia terkesan asal bunyi, asal tampil, tetapi omongannya gak berisi, atau isi omongannya seperti tidak dipikirkan dulu.
Padahal kalau ngobrol santai berdiskusi, orang ini sebenarnya cerdas, dan pendapat-pendapatnya cukup bermutu. Hanya saja dia kurang sabar mendengarkan.
Saya sendiri punya kebiasaan tidak langsung membuka mulut jika tidak ditanya atau diminta. Kecuali setelah beberapa waktu tidak ada yang mau berbicara. Maka dalam kesempatan itu saya akan menjadi volunteer membuka mulut dan berbicara.
Sebelumnya tentu sudah terpikirkan apa yang hendak dibicarakan. Dan dalam kondisi seperti itu, biasanya, apa yang saya bicarakan sesuai dengan apa yang saya pikirkan.