Tetapi makin kesini, saya merasa aneh kalau ada iklan pasta gigi halal, sementara pasta gigi lama tidak ditarik dari peredaran karena tidak ada embel-embel halalnya.Â
Dalam logika saya lawannya halal itu ya haram. Kalau sekarang ada pasta gigi halal, berarti yang lainnya adalah haram. Kalau haram mengapa tidak ada larangan bagi umat Islam untuk tidak menggunakan pasta gigi yang tidak ada label halalnya? Apakah masalah halal haram ini ada tingkatannya?
Kemarin saya baca tentang kacamata pertama yang bersertifikat halal. Sekali lagi, berarti yang tidak berlabel halal seharusnya tidak boleh dipakai oleh umat Islam.Â
Bagi non muslim, tidak ada masalah dengan pelabelan halal/haram ini. Tetapi saya pikir harus jelas untuk siapa pelabelan itu ditujukan. Jika ditujukan untuk seluruh bangsa Indonesia, tentu itu tidak mungkin, karena bangsa Indonesia ini sudah dari dulu terdiri dari berbeda-beda etnik, agama, budaya, bahasa, dst. Ciri khas Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika.
Kalau pelabelan itu ditujukan untuk melindungi umat Islam dari hal-hal yang tidak halal, yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma Islam, sebaiknya diperjelas mana yang haram dan mana yang halal, agar semua umat Islam mengerti dan tidak salah langkah menggunakan produk-produk yang tidak halal.
Tetapi jika pelabelan ini hanya semata-mata untuk tujuan bisnis, sebaiknya iklannya diganti dengan kata-kata yang lebih dapat diterima. Bukankah masalah hukum agama itu mutlak dan bukan hal yang bisa ditawar-tawar?Â
Dengan adanya pelabelan halal seperti sekarang ini, seharusnya diikuti aturan bahwa umat Islam hanya boleh menggunakan produk halal, tanpa menarik produk-produk non halal karena kenyataannya ada banyak konsumennya di Indonesia ini, yang tidak terikat dengan hukum agama.
Di Singapura tidak pernah ada istilah industri halal, yang ada adalah mengikuti aturan dengan benar. Jika sesuatu sudah dilabeli halal, maka itu benar-benar halal, selain itu, apapun alasannya, adalah tidak halal.
Saya rasa inilah yang membuat umat Islam merasa aman berkunjung ke Singapura, karena mereka tahu mana yang halal mana yang tidak. Semuanya jelas. Yang halal tidak disatukan dengan yang tidak halal walaupun  bisa berdampingan. Dan yang tidak halal pun jelas, tidak ditutup- tutupi. Â
Tentang wisata halal, memangnya ada wisata yang tidak halal? Wisata yang menyediakan layanan seks bukan dengan pasangan sahnya mungkin? Kalau itu, bukankah sudah jelas, bagi semua agama memang menggolongkan itu sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan.