Pernah dibesarkan di sebuah lereng gunung, kesejukan udara pagi dan petang menjadi fenomena sehari-hari. Namun, kehangatan secangkir teh dapat menemani kebersamaan kabut tebal dan semilir angin dingin yang berembus dari daerah puncak pegunungan menuju lereng-lereng gunung di sekitar Desa Guci.
Seduhan teh tubruk lokal yang diproduksi dari daerah sendiri rupanya menjadi suatu kebanggaan oleh setiap penikmatnya seakan hari-hari tidak akan ada habisnya bungkus-bungkus teh di dalam toples di dalam lemari kabinet di dapur.
Meminum teh dalam keluarga besar kami bukan sebatas menikmati minuman, tetapi sarat akan sebuah tradisi yang mengiringi. Dimana, kala menyeduh teh di dalam teko, tuangan pertama seduhan teh yang telah kental adalah diurutkan dari yang tertua.
Bila pagi hari mendung cuacanya, atau kala sore hari dengan gerimis tipisnya, atau kala saudara bertandang tiba. Ibu dan anak-anak perempuan sudah bersiap memasak air di atas tungku--kami menyebutnya pawon.
Tungku masih digunakan. Bukan berarti belum ada kompor gas dan listrik, tetapi api yang membara dari kayu bakar di bawah tungku sekaligus difungsikan sebagai penghangat badan kala tubuh menggigil karena kedinginan.
Meski zaman sudah maju, kompor modern banyak macamnya, tetapi tungku atau pawon masih menyala di halaman belakang rumah kami di dekat perkebunan dan kandang ayam.
Setelah air mendidih, sebungkus daun teh kering dituangkan dalam teko, lantas disiram dengan air panas mendidih yang telah dibiarkan beberapa saat setelah diangkat dari atas tungku. Ketika telah tanak, gelas-gelas disejajarkan berurutan. Semua anggota keluarga yang berkehendak, maka akan dibuatkan dalam gelas masing-masing.
Tambahan sedikit gula sebagai perasa legit semakin menambah kenikmatan teh panas yang pekat dengan rasa pahit manit yang menghangatkan badan. Dalam istilah kami, seduhan teh kental dengan rasa pahit manis itu disebut nasgithel (panas, legit, dan kenthel).
Sajian pertama diperuntukkan untuk anggota keluarga paling tua. Dalam rumah kami saat itu masih ada eyang buyut, lalu berurutan ke bapak, ibu, kakak, sampai ke si cicit paling bungsu. Sembari menikmati teh nasgithel, tidak lupa dihidangkan bersama dengan tahu aci plethok atau pisang goreng hangat buatan ibu kami.
Kadang, di sela menikmati hidangan nikmat tersebut tersisipkan cerita-cerita kenangan masa lampau eyang selagi menjadi istri seorang mantan tentara pejuang zaman kemerdekaan. Masa-masa pahit manis di awal era kemerdekaan menjadi kisah yang selalu menarik didengar dan dinantikan kelanjutannya. Paling jelas teringat ialah kala beliau bermain tebak-tebakan mengenai tokoh pahlawan. Beliau bertanya, "Siapa yang mengetahui pertama kali kabar kekalahan Jepang kepada Sekutu melalui radio RRI?", cucu-cucunya yang saat itu masih berusia awal tujuh hingga sembilan tahunan tidak ada yang bisa menjawab, lantas memekik suara bapak menjawab," Sutan Syahrir!"