Mohon tunggu...
Caminar yVolar
Caminar yVolar Mohon Tunggu... Freelancer - Penyuka kuliner, travel, dan senang ngobrol.

Camina y vuela, luego flamea el corazón para descubrir la verdad.

Selanjutnya

Tutup

Money

Empat Karakter yang Bikin Indonesia Sulit Bersaing

18 Juli 2019   16:47 Diperbarui: 18 Juli 2019   16:56 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Indonesia demikian kaya, tetapi sulit bersaing dengan negara-negara calon raksasa ekonomi baru seperti China, Taiwan, atau bahkan Vietnam, karena persoalan mental. Sejumlah karakter, entah bawaan atau gaya-gayaan yang bikin kita kelimpungan.

Pertama, gengsi beli produk domestik. Kita termasuk masyarakat yang suka buatan luar negeri daripada tetangga sebelah. Cek saja merek yang dipakai anak-anak muda, mulai dari parfum, tas, minyak rambut, deodoran, dan seterusnya. Semuanya barang luar. Bahkan bule dianggap lebih mantab daripada sesama Indonesia. Kalau bikin produk, jangan harap mengandalkan pembeli domestik. Orang lebih suka barang China atau Taiwan karena dua negara ini paling hebat memproduksi barang KW. Kalau tas mahal merek beken tidak sanggup dibeli, orang lari ke KW yang dengan mudah dibuat oleh China dan Taiwan. 

Melalui produk-produk itu orang diurut dalam kotak-kotak atau kelas dan menduduki gengsi tertentu. Prinsipnya sama di seluruh dunia, yakni yang pakai merek omprengan adalah kelas bawah. Yang pakai merek beken pastilah kelas atas. Tetapi yang surplus pada orang-orang kita adalah orang-orang kelas atas tetap survival untuk dipuja dan senang merayakaan pemujaan itu karena barang mewah yang dia punyai bukan bikinan lokal, tetapi interlokal. Opsstt...Maksudnya, global (maaf, ikut-ikutan ogah pakai bahasa lokal). Karena itu, memburu barang mewah hingga ke ujung dunia menjadi candu bagi kelompok ini.

Kedua, cepat puas alias syur dengan diri sendiri. Kita orang yang malas bikin nilai tambah. Senang sekali berpuas diri. Ketika barang laku sekian banyak, pukul dada. Tidak banyak pengusaha yang mau mengembangkan produk turunan. Lebih banyak yang membuat itu itu saja. Dan produk itu itu saja tersebut sangat mengandalkan kemurahan alam, alias pabriknya adalah tanah. Kita hanya mengambil apa yang tanah hasilkan. Akibatnya beban pada tanah dan lingkungan luar biasa hebatnya karena semua orang berlomba-lomba mengeruk dari tanah.

Ketiga, lebih suka menyalahkan orang lain, terutama ketika ambisinya gagal. Kita jarang ngaca untuk memeriksa kapasitas dan kelemahan diri. Alih-alih menuduh orang luar sebagai biang kerok. Gagal ekspor, yang disalahkan negara lain. Gagal produksi, yang disalahkan perusahaan luar. Gagal dari hulu sampai ke hilir, yang dituduh adalah konspirasi global. Akhir-akhir ini seiring dengan menghebatnya politik identitas, napsu menyalahkan orang lain makin ganas. Apa-apa asing..Apapun itu kalau gagal, masalah dan penyebabnya ada pada mereka, bukan saya atau kami.

Keempat, meniru untuk semua hal. Semua hal ditiru dari orang. Benar sih, meniru itu penting untuk kreativitas. Tetapi kita lebih banyak berhenti pada meniru. Jarang sekali meniru sebagai perangsang untuk inisiasi produksi yang lebih kreatif. Di suatu kampung yang pernah saya temui ada dukungan pemerintah untuk pengusaha lokal mendapatkan pinjaman lunak dengan bunga yang sangat sangat rendah. Banyak yang mengakses dana itu untuk buka kios. Alhasil, hampir setiap rumah punya kios. Gawat !!! Akhirnya usaha mandek. Pengembalian terseret dan uang pemerintah pun ludes tanpa hasil.

Itu baru empat lho..pasti banyak lagi yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun