Mohon tunggu...
Vivi Widya Susanti
Vivi Widya Susanti Mohon Tunggu... Guru - Khairunnas anfa'uhum linnas

Baru Belajar Nulis - Belajar Baru Nulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

COVID-19: Pendidikan dan Gen-Z

1 April 2020   11:52 Diperbarui: 1 April 2020   16:50 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu potret peserta didik yang sedang belajar dari rumah selama Social Distancing.

Klik.. klik..

Centung.. centung.. centung.. !

Barangkali inilah yang selalu menjadi backsound kita beberapa minggu ini semenjak diberlakukannya WFH (Work From Home) untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Bagi kami tenaga kependidikan, rupanya ini bukanlah menjadi hal yang mudah. Sekilas memang nampaknya asik ya.. bisa melakukan proses belajar mengajar dari rumah, jam enam pagi tidak harus terburu-buru berdandan rapi untuk berangkat ke sekolah misalnya. 

Hal ini juga berlaku untuk peserta didik kami. Kebanyakan dari mereka awalnya justru bahagia karena tidak harus mandi pagi-pagi untuk dapat mengikuti KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di sekolah. Namun makin kesini, mereka sepertinya juga mulai sadar bahwa 'tidak berangkat ke sekolah' bukan berarti tidak 'belajar' dirumah.

Sesuai dengan Surat Edaran Nomor 36603/A.A5/OT/2020 tanggal 15 Maret 2020 dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) yang salah satunya membahas tentang pemberlakuan pegawai bekerja dari rumah, bisa dipastikan bahwa seluruh proses kegiatan belajar akan dilakukan dengan memanfaatkan jaringan online. 

Namun seperti halnya cuitan dari beberapa guru yang ada di daerah, rupanya tidak semua sekolah mampu melaksanakan proses belajar dengan sistem tersebut. Selain keterbatasan sarana serta kompetensi dari masing-masing tenaga pendidik, faktor ekonomi dari keluarga peserta didik juga menjadi barikade dari proses belajar berbasis online ini. 

Akhirnya masing-masing satuan pendidikan berlomba-lomba untuk mengupayakan cara agar proses belajar dirumah tetap berjalan dengan memanfaatkan teknologi yang masih terjangkau oleh peserta didik. Misalnya dengan memanfaatkan aplikasi WhatsApp Messenger dalam fitur Video Call untuk melakukan tatap muka atau sekedar berbagi dokumen untuk memberikan materi. 

Sedangkan untuk informasi atau materi yang diberikan melalui link youtube atau browser, diperlukan kuota internet yang memadai dan sinyal dari provider yang cukup kuat didaerah, dan tidak semua orang tua memahami ini sebagai salah satu kebutuhan penunjang belajar dirumah. 

Uang jajan sudah tidak diberikan. Uang pulsa juga masih dipertimbangkan. 

Yahh.. itu hanya sebagian curhatan beberapa peserta didik saya belakangan ini yang membuat mereka akhirnya lebih memilih masuk sekolah ketimbang #dirumahaja. Hiks..

...

Well, memang beberapa satuan pendidikan sudah memiliki aplikasi belajar online seperti E-Learning yang didisain khusus untuk memudahkan para guru berinteraksi dengan peserta didiknya. Akan tetapi lagi lagi.. semua itu kembali pada kemampuan mereka masing-masing dalam merespon platform tersebut sebagai media belajar. 

Apakah mereka mampu menerjemahkan media itu sebagai alat dalam proses transfer ilmu ? Atau hanya sekedar alat pengukur kehadiran (presensi) selama mereka belajar dirumah?

...

Berbeda dengan sekolah, dimana segala kebutuhan seperti bangku, kursi, papan tulis, ruang kelas, bahkan buku, telah disediakan oleh pihak sekolah, selama berada dirumah segala kebutuhan peserta didik otomatis menjadi tanggung jawab orang tua atau orang dewasa yang berada dirumah. Dan sekali lagi. Orang tua harus berjibaku untuk ini.

Inilah yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi para guru selama WFH. Bagaimana memilih dan memilah metode belajar yang efektif dan efisien untuk peserta didiknya dirumah. Dan saya yakin, setiap sekolah memiliki karakter peserta didik yang berbeda-beda, terlepas mereka berada dalam naungan generasi yang sama. Generasi Z misalnya.

Berbeda dengan Generasi X, Y, dan Millenial, Generasi Z atau biasa disingkat menjadi Gen-Z memang dikenal sebagai generasi dengan karakter yang lebih kompetitif dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Rentang usia Gen-Z dimulai dari kelahiran tahun 1996 sampai 2010. Perkiraan saat ini mereka adalah anak-anak yang mulai duduk di bangku SD/MI kelas 4 sampai ke jenjang SMA/SMK/MA dan seterusnya. 

Bisa dibayangkan, peserta didik kita saat ini adalah produk dari perkembangan teknologi yang semakin tahun semakin canggih. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Gen-Z merupakan generasi multi tasking yang juga kaya dengan ide-ide kreatif. Sehingga tidak sulit rasanya melakukan transfer ilmu kepada generasi ini ditengah - tengah masa belajar dirumah seperti sekarang.

Sayangnya, tidak semua Gen-Z memiliki kondisi finasial yang sama. Tidak semua memiliki smart phone untuk menginstal aplikasi WA (WhatsApp). Tidak semuanya mampu membeli paket data, bahkan tidak semua tertarik mengikuti 'daring' yang hanya memperlihatkan wajah atau membuka link materi dari layar kaca. Sekali lagi tidak semua, karena mungkin masih banyak diluar sana anak-anak beruntung dengan keadaannya sebaliknya. 

Dari sini kita bisa menyadari. Saya. Anda. Dan generasi - generasi yang terlahir jauh sebelum semua teknologi ini ada. Bahwa proses belajar sepertinya bukan sekedar tatap muka dan mengisi lembar soal semata.

Belajar itu bergerak. Menyentuh. Merasakan. Terlibat. Hingga kemudian melahirkan karya-karya yang akhirnya bisa dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya. 

Sidoarjo, 1 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun