Mohon tunggu...
Selvia Vide
Selvia Vide Mohon Tunggu... Akuntan - ASN, Ibu Rumah Tangga, Anak Sekolahan

Suka mengamati, belajar dan merefleksikan apa yg didapat selama perjalanan hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Resep Biar Sekolahmu Keren dan Viral

7 Oktober 2022   08:18 Diperbarui: 7 Oktober 2022   08:22 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jaman saya, era anak-anak baby boomers, sekolah masih berbayar. Pemda belum cukup kuat menjadikan sekolah sebagai bagian dari pelayanan publik. Tahun 70-an sekolah masih dibawah Kemendikbud, baik pembiayaan dan pengelolaannya. Buat anak-anak dari keluarga kurang mampu seperti saya, paling mengandalkan surat kelurahan untuk minta keringanan biaya, dan biasanya saya selalu dapat potongan 50% karena orangtua masih lengkap walaupun penghasilan kecil. Karena sekolah negeri juga berbayar seperti swasta, kita juga cukup bersaing. Apa saja yang sekolah saya buat, sejak sekolah SD, SMP dan SMA, biar sekolah kami keren dan viral, yuks ikut napak tilas. Sekolah TK tidak saya bahas karena saya kok merasa kurang berkontribusi selama TK. Hahaha...mungkin karena jiwa kenakalan dan keingintahuan saya belum tumbuh.

1. Ikutan lomba antar sekolah

Saat SD kegiatan lomba bermacam-macam, mulai lomba senam, menari dan lomba mata pelajaran. Jaman dulu belum ada OSN ataupun OSI, namun yang ada lomba antar kelurahan atau kecamatan. Lomba yang saya pernah ikuti, lomba senam sekecamatan di lapangan basket Senayan. Dengan topi model kurcaci dan baju atas kemeja merah putih, serta rambut potongan model Adi Bing Slamet, salah satu artis cilik ternama saat itu, saya sendiri hampir tidak mengenali diri saya.

Saat SMP saya diminta wali kelas, guru elektronika kami, Bapak Hendry, ikut lomba mengarang Bahasa Indonesia antar kecamatan. Jangan tanya kenapa Pak Hendry pilih saya karena saya juga gak tahu jawabnya, apakah karena nilai Bahasa Indonesia yang cukup tinggi atau alasan karena tulisan saya di papan tulis kelas cukup bagus. Jadilah saya ikut lomba yang walaupun akhirnya tidak menang, mungkin karena waktu belum ada juga Klub Menulis yang digagas Pak Wijaya, sehingga saya yakin tulisan saya pastilah kurang menggigit. Saat SMA terus terang kurang banyak lomba yang saya ikuti mungkin karena orientasi saya adalah untuk bekerja atau kuliah jadi berusaha fokus belajar.

2. Cari teman dari sekolah lain

Jaman saya, telepon hanya dimiliki 'the have' istilah kami untuk orang kaya. Itupun masih telepon rumah. Sehingga kalau kita mau menelpon harus mencari telepon umum koin yang dipasang pemerintah di beberapa jalan. Itupun sering rusak kondisinya. Jadi gimana caranya kalau mau viral-kan kegiatan sekolah waktu itu, ya cukup cari teman yang banyak dari sekolah lain. Carinya dimana? Kalau sekarang medsos jadi media paling efektif untuk mem-viralkan kegiatan sekolah maka jaman saya, cari teman sebanyak-banyaknya dari sekolah lain, main bersama atau kegiatan olahraga bareng menjadi media yang efektif sekolah lain mengetahui aktivitas sekolah kami. 

Untungnya sejak SD saya sudah mengikuti klub karate yang diadakan di sekolah, sehinga saat latihan bersama di Dojo Cempaka Putih ataupun di SMA 1 Boedoet, maka kita menjadi banyak kenal dengan anak-anak sekolah lain. SMA otomatis kegiatan berteman dengan sekolah lain agak berkurang, karena selain fokus mau cari kerja atau kuliah tahun 1988-89 sedang marak-maraknya tawuran antar sekolah, sehingga kalau ke sekolah tangan baju sering dilinting agar tidak kelihatan badge sekolahnya. Baru sekarang menyadari kenapa dulu kita suka linting lengan baju, bukan mau gaya-gayaan tapi karena menghindari diserang sekolah lain. Ada juga sich yang buat gaya, contohnya beberapa teman cowok yang punya lengan kekar, rasanya perlu dipamerkan ke para teman ceweknya. Biasalah gaya anak muda.

3. Punya Majalah Sekolah

Jaman saya, sejak SD, SMP dan SMA sekolah sudah menyediakan papan yang khusus untuk Mading (Majalah Dinding). Dulu belum ada yang namanya Majalah Sekolah, karena Majalah tentu saja perlu biaya, perlu tim tersendiri dan perlu pemasaran. SMPN 2 tempat saya menempuh ilmu, punya Mading, yang isinya jaman tahun 1980-an umumnya cerpen, vignette dan puisi. Kenapa vignette? nach yang lahir era baby boomers seperti saya tentu ingat koran yang paling polpuler 1980-1990-an? Ya, Poskota. Poskota ini isinya sabtu dan senin penuh dengan lowongan pekerjaan dan iklan jual segala macam barang. Sedangkan hari minggu pasti aa puisi, cerpen dan vignette-nya yang merupakan kiriman dari pembaca. Anak-anak SMP, SMA dan mahasiswa jaman itu suka mengirim vignette ke Poskota, sehingga Vignette menjadi viral kala itu. Bicara soal Majalah Sekolah, Grup Belajar Menulis angkatan ke-27 yang diinisiasi Om Jay pada pertemuan ke-11 dengan topik 'Pentingnya Majalah sekolah dan langkah pembuatannya' mendapat pencerahan dari narasumber Ibu Widya Setianingsih. Beliau memaparkan step-by-step mengelola majalah sekolah termasuk memanfaatkan medsos di era ini. Back to edisi Majalah Sekolah jaman 1980-1990 dimana HP yang ditemukanpun masih terbatas pada voice dan sms message saja, belum berkelimpahan dengan segala bentuk medsos. Mading cukup efektif menunjukkan eksistensi sekolahmu dan mendorong kreatifitas siswa. Miniamal ceriat-cerita lucu mading yang umumnya diganti perminggu menjadi penyegar hari anak-anak SMP, SMA atau mahasiswa. nach, bicara soal mahasiswa, saat kuliah di sebuah sekolah kedinasan yang super ketat masuk dan belajarnya, Mading juga menjadi media inovasi, kreasi. 

Kampus saya di pinggiran Jakarta saat itu, dan menyediakan asrama putri. Mading sendii di kampus kami tidak digagas oleh Senat, namun kebetulan saat itu saya menjadi penghuni asrama putri, sekaligus aktif di koperasi kampus dan pengurus asrama putri. Kebetulan juga punya teman yang sehati, jadinya kita inisiatif membuat Mading yang ditempel di papan pengumuman milik koperasi kampus. 

Biasanya saya menulis cerpen, namun kadang hilang ide, dan diteruskan teman seasput yang sama-sama pengurus koperasi. Hal menyenangkan sebagai pengisi mading adalah saat semua teman memperbincangkan isi mading kita termasuk penasaran dengan ending dari cerpen/cerber yang kita buat. Mau cari penulis tetap atau bayat staf untuk mengelola mading, tidak tersedia anggaran. Sehingga mading adalah bentuk eksistensi kami sebagai mahasiwa dengan pemikiran, dana boleh terbatas namun kreatifitas tidak boleh terbatas. Seperti itu juga yang saya dapat dari pertemuan ke-11 grup Belajar Menulis Angkatan ke-27, majalah sekolah tidak perlu mewah yang penting menampung aspirasi sekoalh dan siswa, harus kreatif distribusinya melalui medsos juga boleh dan penulis dapat dari berbagai sumber. jadi kalau mau buat sekolahmu eksis, gak harus selalu mahal dan sulit kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun