Mohon tunggu...
Ruslan Karim
Ruslan Karim Mohon Tunggu... -

Jadilah diri sendiri, percaya diri, jangan takut untuk mencoba serta menulis agar menjadi luar biasa....!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

‘’Wali Nanggroe”, Manfaat atau Mudharat?

23 Mei 2013   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:08 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_255541" align="aligncenter" width="600" caption="http://beritagar.com/p/gedung-rp85-miliar-untuk-wali-nanggroe-aceh"][/caption]

SEAKAN belum puas dengan jumlah plot dana yang telah disediakan untuk pembangunan ‘’meuligoe” atau istana senilai 85 miliar (beritagar.com), DPRA sebagai perwakilan rakyat Aceh kembali mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk lembaga wali nanggroe. Kali ini adalah biaya paket belanja yang akan kucurkan untuk lembaga yang dijabat oleh ‘’paduka yang mulia” Malik Mahmud al Haytar. Jumlah keseluruhan dana 25 paket belanja itu yakni Rp 3.617.850.000 (tiga milyar enam ratus tujuh belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah). Itu belum lagi dana operasional ‘’paduka yang mulia” yang jumlahnya Rp 109 juta per hari selama 1 tahun atau mendekati angka Rp 40 miliar. Seakan tak ingin ambil pusing, mayoritas wakil rakyat yang ‘’terhormat” sudah jauh hari merencanakan agenda tersebut dalam pembahasan anggaran tahun 2013. Wajar bila penolakan dan kritik tajam dari masyarakat pun kerap bermunculan. Hal ini tak lain disebabkan hal-hal yang lebih substantif untuk pembangunan infrastuktur serta peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mestinya menjadi prioritas utama anggota parlemen daerah Aceh, malah dikesampingkan demi seorang wali nanggroe. Padahal tujuan pembentukan lembaga itu sendiri masih dipertanyakan. Sebab banyak kewenangan wali nanggroe justru bertentangan dengan tujuan pokok dari Mou Helsinki, seperti berhak menguasai seluruh aset Aceh, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri serta membubarkan parlemen Aceh dan memberhentikan Gubernur Aceh.

[caption id="attachment_255542" align="aligncenter" width="600" caption="http://atjehpost.com/read/2013/02/04/38373/15/5/FOTO-Penampilan-Baru-Pemangku-Wali-Nanggroe-"]

13693117741429259782
13693117741429259782
[/caption]

Apa yang dilakukan oleh legislatif Aceh yang mayoritas anggotanya berasal dari partai Aceh (PA) dengan mengalokasikan anggaran yang begitu ‘’fantastis” bagi lembaga wali nanggroe, khususnya untuk pembangunan ‘’istana” yang mirip Parthenon (kuil dewa) Yunani, sangat bertolak belakang dengan kondisi tempat tinggal masyarakat Aceh di pedesaan yang masih banyak menghuni rumah tak lagi layak huni. Diakui atau tidak, jumlah penduduk Aceh yang hidup dalam kemiskinan adalah 19,46 persen. Aceh menduduki peringkat 29 secara Nasional dalam hal jumlah penduduk miskin atau dibawah Nusa Tenggara Timur (rakyataceh.com).

Berharap kepekaan dari legislatif Aceh terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat seakan ibarat pungguk yang merindukan bulan. Setidaknya demikianlah realita yang banyak terjadi saat ini. Walau belum mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Pusat di Jakarta, dalam setiap kegiatan Pemerintahan di Aceh, wali nanggroe sering dilibatkan dalam setiap rapat pembahasan.

[caption id="attachment_255547" align="aligncenter" width="300" caption="foto facebook.com"]

13693125171458539970
13693125171458539970
[/caption]

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah apa manfaat wali nanggroe?Sejumlah pihak yang pro terhadap wali nanggroe seperti Abdullah Saleh berpendapat bahwa lembaga itu bermanfaat untuk menjaga persatuan rakyat Aceh. Namun benarkah demikian? Kenyataan dilapangan malah memperlihatkan sebaliknya. Demonstrasi penolakan sejumlah masyarakat dan mahasiswa dari wilayah Tengah Aceh dan pesisir Barat-Selatan Aceh menjadi jawaban yang bertolak belakang dengan ‘’persatuan” yang disampaikan oleh Abdullah Saleh. Hanya wilayah pesisir Timur-Utara yang mendukung pembentukan lembaga wali nanggroe, tapi dukungan itu sendiri patut dipertanyakan. Sebab masyarakat di wilayah pesisir Timur-Utara Aceh kebanyakan lebih memilih sikap ‘’diam” dalam menyikapi pembentukan lembaga wali nanggroe.

Penolakan terhadap wali nanggroe menunjukkan bahwa sikap kontra juga ada dikalangan masyarakat Aceh. Tapi jarang di ekspose, kecuali bila ada demo penolakan dijalanan.

Melihat beberapa peristiwa yang muncul terhadap wali nanggroe, masing-masing pihak tentu memiliki penilaiannnya sendiri, baik yang mendukung (pro) maupun yang menolak (kontra). Ada yang menganggapnya bermanfaat, tapi tak sedikit yang beranggapan bahwa wali nanggroe justru mudharat bagi Aceh. Apa pun jawaban yang diberikan nantinya, peningkatan kesejahteraan dan pembangunan bagi rakyat Aceh jauh lebih penting untuk diutamakan dalam setiap program yang digagas oleh Pemerintahan Aceh. Namun, sudahkah itu dilaksanakan?

Ruslan JR

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun