Mohon tunggu...
Vitto Prasetyo
Vitto Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Laki-laki

pegiat sastra dan peminat budaya, tinggal di Malang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Revolusi Sastra dalam Bahasa

13 Februari 2020   23:48 Diperbarui: 13 Februari 2020   23:49 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sastra dan Bahasa sering dikategorikan dalam disiplin ilmu, yang identik bergandengan satu sama lain. Sastra dalam implementasi literasi terlahir dati aksara bersih. Kalau mau dikata, mempunyai keunikan tersendiri karena sering menentang kaidah gramatikal bahasa. Sebuah gaya bahasa yang mereduksi kalimat, sehingga tidak menurut aturan tata bahasa sesuai pedoman yang berlaku.

Hanya saja, banyak para pakar bahasa yang berpendapat dan berpegang teguh dengan konsep kaidah bahasa, hingga mengkritisi bahasa-bahasa dalam sastra yang terkesan amburadul dan sesuai keinginan penulisnya.

Pertentangan yang kadang, sama-sama saling memaafkan tanpa perjanjian terikat. Ini adalah bukti, bahwa antara bahasa dan sastra mengalami dinamika sesuai era yang mengalir dengan tantangannya sendiri-sendiri.

Seyogyanya, sastra terikat oleh sebuah metafisik moral, yang bersumber atau bermuara pada lingkup budaya. Begitupun lingkup bahasa, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari catatan budaya. Membangun konteks ini tentu harus ada pendalaman yang tidak hanya sekedar teori ilmiah, melainkan dengan riset analitis yang hatus membuang jauh ego pemikiran.

Pemikiran idealis tentu akan berbenturan, seperti seorang sastrawan yang belajar secara otodidak, akan berbeda dengan sastrawan didaktis. Seorang pegiat sastra pada satu titik dimensi pasti akan merasakan pertentangan batin dan pikiran. Bahkan kalau boleh diistilahkan sebuah karya puisi itu terlahir dari sebuah pemikiran yang terpenjara.

Maka jika sastra mengalami sebuah perubahan, yang pada tingkat puncak dikatakan sebagai revolusi sastra, itu karena para pegiat sastra berjalan sendiri untuk mencari jatidirinya masing-masing. Kaidah bahasa mungkin hanya dianggap sebagai referensi literasi yang tidak membutuhkan pendalaman secara khusus.

Jika pada masa lampau, sejarah sastra masih terpengaruh dengan gaya bahasa melayu, maka kini gaya bahasa sastra telah masuk dengan gaya bahasa digital. Meski nilai objektivitasnya sulit dijadikan sebagai parameter bahasa keindahan hingga pesan-pesan moral.

Dalam catatan kecil, banyak pegiat sastra tanpa peduli dengan pelestarian ekosistem budaya, yang menyangkut esensi nilai literasi dan bahasa. Bagi kebanyakan para pegiat sastra lebih berorientasi pada pemenuhan nilai ekonomi dan popularitas. Sebuah revolusi yang konyol, karena mungkin benar seperti yang dikatakan sastrawan besar kita, Taufiq Ismail: "malu aku menjadi orang Indonesia".

Entah seberapa banyak kita telah " memperkosa" kesucian bahasa demi membasuh wajah kita yang menjadi penghancur masa depan budaya bagi generasi mendatang. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun