Mohon tunggu...
Virgia Aida
Virgia Aida Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Komunikasi Gunadarma'14 yang suka gambar dan makan sate padang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lagi-lagi Ahok, Si Penista dan Komunikasinya

6 Februari 2017   15:13 Diperbarui: 7 Februari 2017   11:18 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Ilustrasi Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. © Kiagus Aulianshah /Beritagar

"Communication is culture and culture is communication - Edward T. Hall"

Belakangan ini, membicarakan sosok Ahok memang tak pernah ada habisnya. Ahok dan penista, menjadi dua kata yang saling melekat satu dengan lainnya karena dianggap meresahkan publik terkait kehadirannya. Hampir setiap hari pemberitaan mengenai Ahok disebarkan melalui berbagai media, khususnya media sosial. Bahasa kasar, pro dan kontra juga kerap hadir setiap kali pemberitaan mengenai dirinya muncul kepermukaan publik.

Melihat sisi balik sebelumnya, apa yang menyebabkan Ahok dianggap meresahkan publik ?

Ahok, memulai kotroversinya sejak ia di kenal sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta yang arogan dan “Ceplas-ceplos”. Mulai dari kata Lo, Gue, Tolol, Goblok,Tempeleng sampai T*i, pernah diucapkan oleh Ahok. Hal ini juga diperparah dengan adanya cap sebagai Penista Agama yang melekat pada dirinya baru-baru ini. Sehingga kehadiran seorang Ahok pun ditolak mentah–mentah oleh beberapa kalangan.

Lalu, jika ditanya apakah Ahok secara sadar ingin menistakan agama dan yang menolak kehadiran Ahok itu berlebihan? Mungkin tidak. Sebab yang harus kita ketahui bahwa dalam konteks ini telah terjadi perbenturan dari dua kebudayaan komunikasi yang berbeda.

Sejak dulu, bangsa timur termasuk Indonesia telah terbiasa dengan istilah High context culture (HCC). HCC biasa dipahami sebagai budaya komunikasi yang bersifat implisit dengan mengedepankan kesopansantunan, halus dan sedikit berbasa-basi untuk menghidari kesan yang buruk.

Sedangkan Ahok, seorang publik figur dari timur ini malah lebih memilih menggunakan Low context culture (LCC). Dalam komunikasinya, LCC biasa dipakai oleh bangsa barat, seperti Amerika Serikat dan tentu hal ini bertolak belakang dengan budaya komunikasi yang ada di Indonesia. LCC dikenal sebagai budaya komunikasi yang bersifat lebih explisit, ceplas-ceplos dan terkadang bicaranya dapat melukai perasaan orang lain. Sama seperti Ahok, LCC ini juga lebih mengutamakan pesan dibandingkan proses. 

Oeh karena itu, dari pemaparan mengenai HCC dan LCC, kita seharusnya dapat memahami dua perbedaan budaya komunikasi tersebut dengan baik. Termasuk memahami kemungkinan adanya kesalahpahaman diantara pengguna budaya HCC dan LCC. 

dan jika ditanya lagi mana yang paling baik antara HCC dan LCC, maka jawabannya tidak ada. Pengguna HCC dan LCC memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, untuk masalah ketepatan ada dua hal yang bisa sama-sama kita perbaiki :

Pertama, Ahok sebagai public figur harus bisa memahami bahwa ia berada di Indonesia yang mana orang indonesia lebih dominan memakai budaya HCC daripada LCC. Sehingga kesopan santunan dalam berbicara sangat diutamakan. Oleh karenanya, Ahok harus beradaptasi dengan cara mengurangi “Ceplas-ceplosnya” saat berkomunikasi di depan publik.

Kedua, orang yang kontra terhadap Ahok harus lebih bijak dalam memahami perbedaan komunikasi yang ada. Jangan jadikan ketidaktauan terhadap perbedaan dalam berkomunikasi sebagai alasan untuk menghujat balik Ahok dengan perkataan yang kasar. Sebab, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa besar kecilnya Ahok telah membawa perubahan untuk DKI Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun