Mohon tunggu...
Cerpen

Manis vs Pahit

16 Mei 2019   13:07 Diperbarui: 16 Mei 2019   13:31 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MANIS VS PAHIT

Dari beberapa banyaknya kenangan yang sudah aku lalui, hanya satu yang membuatku ingin kembali. Di sana, SMA. Aku tau dari semua kisah yang berlalu tidak akan pernah terulang kembali. kita hanya bisa mengenang, mengingat kembali menggunakan memori yang ada di dalam otak kita. Kita bisa mengingat tanpa bisa merabanya, mencium baunya, melihat kenyataanya. Semuanya  terjadi bersamaan dengan halusinasi antara ingatan dan kenangan. Walaupun sekarang aku tidak bisa kembali, aku sangat bahagia mengetahui bahwa aku pernah menjalaninya bersama mereka. Sahabat-sahabat terbaik ku.

Aku tidak akan membahas itu. Kenyataanya bahwa aku ini adalah seorang mahasiswa. Aku harus menjalani hidupku dengan pikiranku sendiri. Semua yang aku lakukan dan dampaknya menjadi bebanku juga keberuntunganku. Aku sadar bahwa dunia perkuliahan sangat jauh dari apa yang aku harapkan. Bukanya aku sulit beradaptasi tetapi lingkungan ini memang kurasa tidak sesuai denganku. Hingga pikiranku terbayang percakapanku  bersama ayah sekitar setahun yang lalu.

"Yah, apa boleh adek ngambil jurusan desaign dan keluar dari pulau sumatra??", tanyaku pada Ayah. "Enggak usah ngambil yang jauh-jauh, yang deket aja yang terpenting di universitas negri", jawab Ayah.  

Dan alhamdulillah aku rupanya lulus di universitas negri dengan jurusan yang aku inginkan melalui salah satu jalur dari sekolah. Dan ketika aku memberitahu kabar ini pada ayah, dia langsung senang.

Akhir-akhir ini aku mulai menyadari bahwa kalimat Ayah sangat bermakna untuku. Aku pikir aku sedikit menyesal karena tidak mau mempertimbangkan dulu pendapat Ayah. Bahkan kini aku berfikir aku sangat ingin menjadi perancang busana, dengan berbagai model yang pernah dalam hayalanku. Aku menyadari betapa berartinya perkataan orangtua.

Aku mungkin terlihat tidak menyukai pendidikanku saat ini dan kenyataanya memang begitu. Bukan soal jurusan yang aku pilih tetapi karena mungkin manusia di sini jauh dari keinginanku. Aku bisa dibilang tipikal orang yang mudah bergaul, tetapi di sini aku bahkan tidak tau siapa temanku. 

Ya sebenarnya mereka semua temanku tetapi aku belum menemukan seorang sahabat di sini. Awalnya aku pikir aku sudah bertemu tetapi lama kelamaan aku salah menilai. Bukan itu yang aku inginkan.

Soal Sahabat? Jelas ini bukan faktor utama aku tidak suka kuliah di tempat ini. Aku hanya memikirkan soal sikap teman-teman yang berbeda dengan temanku dulu waktu SMA. Pernah ketika suatu hari. "Hey aisyah, udah adzan Dzuhur nih, kita sholat yuk ke mushola", sapaku kepada aisyah. "Udah deh sanah kamu aja, aku barusan pakai berdandan", jawabnya. Setelah itu aku terdiam dan langsung pergi ke mushola. Aku tidak tau apa sebenarnya yang dipikirkan aisyah dan teman-temanya. Jujur aku agak  risih dengan hal seperti ini. Ketika SMA, justru teman-temanku yang mengajaku sholat duluan. Berlomba-lomba datang ke mushola duluan begitu juga teman putranya. 

Tetapi di sini? Semua berbanding terbalik. keinginanku, aku bisa berubah menjadi lebih baik lagi ketika di bangku kuliah tetapi sangat sulit karena memang tidak mudah dalam situasi seperti ini. Tidak ada yang menegurku ketika aku salah, semua membiarkan dan sibuk dengan urusanya sendiri. Aku pikir bukan salah mereka, ini salahku yang belum bisa merubah keadaan mereka seperti apa yang aku inginkan. Aku sangat bersyukur mendapatkan seorang sahabat yang bernama nur. Dia satu-satunya teman yang mau memberiku support dan menegurku ketika aku berbuat sesuatu salah. Karena kami pun satu jurusan jadi itu membuat kami lebih sering berjumpa dan bersama dalam jangka waktu yang panjang dan membuat hubungan pertemanan kami menjadi persahabatan.

Walaupun aku kuliah hanya 3 tahun, aku merasa seperti 7 tahun. Rasanya aku ingin sekali pindah tetapi aku tidak mau membuat kedua orangtuaku kecewa. Mereka sudah menghabiskan banyak biaya untuk kuliahku. Demi mereka aku masih bisa bersabar untuk saat ini. Ini adalah pilihanku dan begitu juga aku harus bisa mempertanggungjawabkanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun